Tags

, , , ,

[English Version]

Pak Peter sedang mengambil sampah kami pagi ini.

Pak Peter sedang mengambil sampah kami pagi ini.

Di Jakarta ini sungguh sulit mencari orang yang tulus. Aku sendiri senantiasa berdiam di rumah. Jadi dari rumahku saja inilah, aku menyoroti karakter orang-orang di sekitarku. Antara lain kepada Pak Peter, tukang sampah RT kami. Karakternya sulit didalami, tak pernah senyum dan tak butuh perhatian. Like he lives in a jungle. Bukan main tak ramahnya dia dan tak butuh pertolongan.

Suatu hari ia sedang mengambil sampah kami. Kutanyakan kepadanya, “Pak, kami lagi masak nasi rawon. Mau nggak nasi rawon?”
“Tidak!”, Jawabnya tanpa senyum.
Aku kaget, lalu bertanya, “Kenapa Pak, nasi rawon itu enak?”
“Saya bukan orang Jawa”, katanya.
“Lalu Pak Peter dari mana?” Tanyaku.
“Dari Manado”, jawabnya dengan nada masih datar.
“Kalau kita masak bubur Manado, mau nggak?”
“O, mau kalau itu.”
Sudah, hari itu berlalu tanpa kehangatan komunikasi dengan Pak Peter. Lalu aku meminta Etik memasak bubur Manado, biar bisa bagi dengan Pak Peter. Dan kami kirimkan bubur Manado itu ke Pak Peter.
Dan ketika bertemu dengan Pak Peter, kutanya lagi, “Suka nggak dengan bubur Manadonya?”
“Ya suka, cuma kurang pedes”, jawabnya sedikit hangat.
Lalu Aku kasih tahu Etik, kalau bikin bubur Manado, sambelnya untuk Pak Peter dipedesin. Setelah dipedesin, kutanya lagi Pak Peter,
“Bagaimana Pak, bubur Manadonya sudah cocok?”
Dia tertawa lebar dan berkata, “Wah, cocok sekali! Yang ini, yang terakhir, luar biasa enaknya. Membuat saya ingat kampung saja!”

Wah baru itu, aku menyaksikan tawa Pak Peter yang melegakan. Lalu Aku semakin ingin membahagiakan Pak Peter. Aku berpikir apalagi masakan Manado lainnya yang gampang memasaknya. Dan aku menyuruh Etik lagi memasak ikan goreng dengan bumbu Dabu-dabu.

Dabu-dabu itu temenannya ikan bakar atau ikan goreng. Dabu-dabu itu seger sekali rasanya. Dibuat dengan irisan cabe rawit, tomat hijau iris, bawang merah iris dan daun kemangi, bumbunya cuma garam dan jeruk nipis, kasih minyak dikit.

Nah, ketika kutanya Pak Peter tentang ikan dan Dabu-dabu itu, dia mengatakan senang sekali, tapi jangan sering-sering memberinya. Dan aku heran, orang senang kok tidak mau sering-sering dikirimi, kenapa?

Lalu aku bertanya, dan dia menjawab, “Saya kalau dikasih makanan kampung Bu, jadi ingat kampung terus. Jadi saya susah, karena mengingat tidak ada ongkos untuk pulang.”

Pak Peter itu sesungguhnya orang yang terlunta-lunta di dunia ini. Di Jakarta dia tak punya rumah. Dia tidur hanya di emperan kantor RW kami dengan beralaskan kardus bekas. Kami baru tahu ketika mendapati dia tidur seperti itu. Dan kemudian kami berinisiatif membelikan satu kasur lipat. Tapi pada kenyataannya, dia tetap tidur beralaskan kardus.

Ketika kami tanya, ternyata dia bilang sayang pada kasur lipatnya itu.Dan sampai sekarang kasur lipat itu masih dititipkan di rumah ibu Tuti, tetangga kami di Mahoni. Sesungguhnya Pak Peter itu adalah tukang sampah yang paling rajin di Jakarta, menurut saya. Karena dia rajin bekerja tanpa mengharapkan uang tips. Dari kerajinannya mengangkati sampah kami setiap hari, dia terus melakukan pekerjaannya tanpa peduli teriknya siang dan tanpa peduli diperhatikan atau tidak.

Sebenarnya ketulusannya itu suatu hal yang wajar, bagi siapa pun yang menganggap tugasnya adalah kewajibannya. Tetapi tak menjadi biasa karena di Jakarta ini mencari tukang sampah yang rajin membersihkan sampah penduduk setiap hari tanpa meminta tips, itu aneh menurutku. Oleh karena itu, biarpun Pak Peter yang tua itu karakternya sangar, tidak ramah, tapi kami sayang padanya.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa di Jakarta ini ada orang yang sangat miskin dan tak punya apa-apa, tapi sepertinya dia tak membutuhkan apa-apa dalam hidupnya.

Bayangkan, dia kalau pulang kampung menemui keluarganya ke Indramayu, dia mengayuh sepedanya sepanjang jalan. Lalu kami tanya, “Kenapa uang lebarannya tak dipakai untuk naik kereta saja?”
Lalu dia bilang, “Sayang, uangnya lebih baik untuk makan”.

Orang tua seperti Pak Peter yang umurnya sudah 62 tahun, tapi naik sepeda menempuh 16 jam baru sampai ke Indramayu demi menyetorkan uang lebarannya ke istrinya. Sungguh sangat mengharukan.

Aku semakin sadar bahwa hidup ini memang keras dan harus pandai-pandai berhemat, sesedikit apa pun penghasilan itu. Tapi Peter mengajarkan kehidupan yang keras yang ditempuhnya bersama sampah, tak membuatnya kehilangan ketulusan. Nun, dia hanya perlu diberikan senyuman, supaya dia bisa tersenyum juga. Sungguh tak mudah bisa membuat Pak Peter tersenyum. Aku tak mau berpikir jauh kenapa di seperti itu. Tapi kemudian aku baru tahu ketika dia mengatakan, sejak dia kecil dia sudah hidup di bawah jembatan. Jadi dia sudah terbiasa hidup seperti Tarzan, hidup di alam tanpa atap. Aku susah memikirkan ada orang yang bertahan hidup seperti itu sampai di usia tua.

Adapun ketulusannya yang ingin kuangkat adalah ketulusan yang langka, karena berasal dari orang yang sangat miskin. Ketulusan seperti ini dapat dikategorikan seperti ketulusan yang tersempit untuk dibagikan. Tapi ketika itu dibagikan dengan tulus, kemudian menjadilah sebagai suatu harkat kemuliaan. Karena siapa pun yang melihat ketulusan yang seperti itu, niscaya bisa menilai seberapa karakter kebajikan yang ada di dalam seorang Peter, si tukang sampah yang tanpa senyum itu.

Katakanlah itu sebagai panutan ketulusan dari orang yang patut mendapat ketulusan. Kepribadian Pak Peter ini bisa diperimbangkan dengan para pelayan masyarakat yang duduk dalam kekuasaan yang berkelimpahan uang dan kehormatan, tapi kurang ketulusannya.

No matter how is the kindness, it should be appreciated, for only rare people give their kindness and sincerity in their very shortage condition.