Tags

, ,

 [English Version]

Dulu, bagiku gudeg itu biasa-biasa saja, sampai kutemukan gudeg Bude di pasar kaget Poncol. Di Senen ini banyak pasar tradisional, salah satunya pasar kaget Poncol. Aku memang tukang jajan. Suka mencari-cari tempat jajanan yang murah dan enak.

Jauh sebelum itu, aku pernah berpikir kenapa di Jakarta ini banyak jajanannya kurang bermutu tapi harganya lumayan mahal. Dulu aku tinggal di Surabaya dan sempat di Malang. Di Jawa Timur, banyak pedagang makanan kaki lima yang kusukai dan murah-murah. Kalau ke Surabaya atau Malang, aku selalu jajan. Aku suka makanan Jawa Timur, karena selain enak juga murah. Di Malang, kami panggil penjual cwi mie yang mangkal di Jalan Ijen, dengan membawa gerobaknya, ke tempat kami menginap. Waktu itu untuk konsumsi serumah, cuma bayar Rp 50.000, karena semangkok harganya hanya Rp 2.500. Entah sekarang, mungkin sudah empat atau lima ribu.  Tapi jelas takkan mahal. Mencari jajanan murah dan enak seperti itu, di Jakarta sepertinya non-sense.

Tapi mau tahu nggak, di Pasar kaget Poncol itu ada seorang ibu berbadan gemuk, namanya Karni, biasa dipanggil Bude saja, gudegnya enak. Aku suka dibelikan gudeg si Bude. Gudeg lengkap itu terdiri dari sepotong sayap ayam, sejumput gudeg, sejumput krecek, sejumput daun singkong, harganya cuma Rp 7.000. Kalau ayamnya pakai paha ayam, uangnya hanya nambah Rp 1.500, jadi Rp 8.500. Eh, harga itu tanpa nasi, ya! Kalau pakai nasi, harganya sepuluh ribu.

Kalau kami ada hajatan, maka untuk nambah-nambah menu, pesan saja sama si Bude. Menu pun jadi meriah, tapi tak menghamburkan pengeluaran. Kreceknya itu Masyaallah enaknya! Sayangnya, dia sekarang ini lagi pulang mudik. Lama banget mudiknya. Saya sudah kangen sekali dengan gudegnya.

Bude

Bude Karni, gudegnya laris manis.

Tapi yang ingin kuulas di sini adalah ketulusannya dalam berdagang. Bayangkan, ketika harga daging sapi waktu itu naik, daging ayam pun ikut naik, dia masih tetap dengan harga 7 ribunya itu. Karena kami ini langganannya, kadang-kadang malah ditambahin sayur-sayurannya.

Sampai ketika aku mendapati kami tetap membayar tujuh ribu untuk gudeg komplitnya itu, aku geleng-geleng kepala. Di Jakarta, ada gudeg cuma tujuh ribu? Enak lagi!

Lalu aku berpikir, orang kecil seperti itu, masih tulus dalam berjualan. Dan kalau aku berpikir, ibu-ibu yang pengusaha besar dan menjadi selebriti sosialita, bisakah menyamai si Bude dalam ketulusannya berdagang yang konsisten hanya mengambil keuntungan sedikit untuk dagangannya yang disukai orang banyak. Begitulah, kalau kami ke sana selalu ngantri. Mustinya, kalau dagangan laris, biasanya jadi mahal karena disukai orang banyak. Tapi dia tak tergoda untuk menaikkan harga gudegnya.

Jadi menurutku si Bude itu tidak mata duitan dan bersifat sosial. Kalau dikategorikan si Bude itu sosialitanya pasar kaget Poncol.

There is no certainty without hard work and sincerity. There is no nobility without appreciation. There is appreciation if someone doing something pleasing other people. But it is the sincerity that make it happens.