Dear Viewer,

Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sedang tertantang, sebagai ideologi negara. Pancasila sedang ingin disingkirkan karena dianggap bukan ayat-ayat suci dan di bawah Hukum Allah. Tapi Allah kini sedang berwahyu. Ketika melihat tantangan itu, Dia pun mewahyukan penjabaran butir-butir Pancasila dalam bahasa Teologi dan filosofi yang akrab dan yang menyentuh hati sanubari. Demikian aku sedang menuliskan Wahyu-wahyu-Nya tersebut dalam bab-bab yang panjang.

Dan hari ini, 23 Mei 2018 jam 15.00, Tuhan memberkati Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dengan kemahakeramatan dan kemahasakralan, karena sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itulah yang sedang dimutlakkan Tuhan. Sedangkan semua sila berikutnya adalah filosofi universal yang bisa diterima oleh semua umat dan bangsa-bangsa.

Dan ketika Tuhan ingin mendasari teologi Penyatuan Semua Agama, Dia ingin menggunakan kata Bhinneka Tunggal Ika menjadi filosofi Penyatuan Semua Agama. Dengan alasan itulah, Tuhan memberkati kemahakeramatan dan kemahasakralan kepada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika hari ini. Dan Tuhan ingin menjadikan Pancasila sebagai rukun iman Penyatuan Semua Agama, maka semua butir sila Pancasila diamandemen menjadi Ayat-ayat Suci-Nya yang termutakhir.

Betapapun perubahan ideologi Pancasila menjadi Ayat-ayat Suci Allah itu maha penting, sehingga wajib dihikmati. Tapi bangsa dan negara Indonesia pun wajib bersyukur atas Ketentuan Tuhan menjadikan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian dari bab yang diutamakan Tuhan dalam  Pewahyuan-Nya yang sedang diturunkan-Nya pada saat ini.

Dengan adanya Karunia Tuhan tersebut, kiranya kita semua tak perlu lagi cemas tentang Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, karena kini Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika pun sudah menjadi Ayat-ayat Suci Tuhan, sehingga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika tidak mungkin lagi bisa digantikan oleh ideologi apa pun yang lainnya. Semoga bangsa Indonesia tetap bersatu dalam damai dan dalam Cinta Tuhan.

Betapa aku ingin mengisahkan bagaimana Tuhan pada awalnya mengajariku mencintai Pancasila secara mendalam, melalui puisi Pancasila Meniti Zaman yang juga memiliki kisah menarik tersendiri. Demikian inilah ceritaku tentang bagaimana aku mendapatkan inspirasi dari Tuhan atas bukuku: Pancasila Meniti Zaman. Terima kasih atas perhatiannya.

 

PANCASILA DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA DIBERKATI TUHAN

 

Saat pertama kali menerima Pewahyuan pada tahun 1995, saat itulah aku tiba-tiba bisa menuliskan puisi, yang sebelumnya kalau membaca puisi niscaya aku selalu membacakan puisi orang lain. Dan ketika mendapati diriku yang tiba-tiba bisa menuliskan puisi dengan mudah dan lancar, sungguh itu tak terduga dan sangat membahagiakan. Dan semenjak itu, aku sangat bersemangat menuliskan puisi. Sampai-sampai aku seakan-akan tergila-gila membuat puisi.

Dan aku pun menuliskan sekaligus tiga buku puisi, yaitu Mencari Kerukunan Nasional, Puisi dari Alam Gaib dan Mencari Hikmah. Adapun pencetakan ketiga bukuku itu aku dibantu oleh keluarga Sukamdani Sahid Gitosardjono. Maka aku tak mengeluarkan biaya apa pun atas pencetakan ketiga bukuku itu. Untuk itu kuucapkan terima kasih kepada keluarga Sukamdani Sahid Gitosardjono.

Berikutnya, Ibu Sukamdani memintaku untuk menuliskan Pancasila dalam tujuh zaman. Anda bisa bayangkan orang yang baru belajar membuat puisi tiba-tiba diminta oleh seorang yang kuhormati yang sulit kutolak permintaannya, yaitu ibu Sukamdani. Apalagi dia menyebutkan bahwa puisi itu dia pesan dalam rangka merayakan hari ulang tahun perkawinannya dengan Bapak Sukamdani Sahid Gitosardjono.

Dan aku gembira dipercaya membuat puisi Pancasila dalam tujuh zaman tersebut. Tapi itulah ujianku yang pertama dari Tuhan. Tiga bukuku sebelumnya begitu lancar aku menuliskannya. Giliran menuliskan puisi Pancasila pesanan ibu Sukamdani tersebut, aku kehilangan inspirasi sama sekali.

Semula kukira itu karena aku tak bisa mengejakan hakikat Pancasila menjadi puisi, karena kata-kata dalam Pancasila itu sangat filosofis, dan aku bukan orang yang mengerti tentang hal itu. Aku diberi waktu tiga bulan oleh Ibu Sukamdani untuk membuat puisi Pancasila itu. Bulan pertama lewat, tanpa aku bisa menuliskan satu bait pun. Dua bulan berikutnya pun lewat tetap demikian.

Demikian aku mulai nervous dan cemas karena tak bisa menuliskan apa yang diminta oleh ibu Sukamdani itu, padahal aku sudah mengiyakannya. Sekretaris ibu Sukamdani sudah berulang-ulang menanyakan kapan pesanan puisi Pancasila itu bisa selesai. Dan itulah yang membuatku sangat cemas.

Dari kecemasan yang setiap hari meningkat itu, akhirnya aku marah pada Jibril yang kuanggap mempermainkan aku ketika aku dalam kondisi sangat membutuhkan inspirasi darinya. Demikian akhirnya aku kalap dan aku menyabet-nyabetkan bantal gulingku ke segala penjuru sambil menangis.

Ketika aku tersungkur menangis tersedu-sedu, barulah dia berkata, juga dengan marah. Dia mengatakan kepadaku: “Kau tahu Lia, Tuhan saja tak pernah memperlakukan aku seperti itu!”

Setelah itu aku tersungkur menangis terisak-isak memohon ampun kepada Tuhan dan memohon ampun kepada Ruhul Kudus. Tangisanku itu akhirnya tenggelam dalam tidurku yang nyenyak sekali karena keletihan di dalam stres yang mengungkungku selama dua bulan terakhir.

Ketika aku bangun, Jibril berkata lembut kepadaku: “Tuliskanlah puisi itu sekarang juga.” Dan aku cepat bangkit, dan betul sekali, aku menuliskan puisi Pancasila tujuh zaman itu dengan sangat lancar. Dan kata-katanya pun sangat berkarakter. Demikian aku bisa memenuhi janjiku kepada ibu Sukamdani  tepat waktu, dan aku dihadiahi olehnya tasbih emas yang indah sekali.

Begitulah transkrip Pancasila tujuh zaman itu akhirnya sampai ke tangan keluarga Sukamdani. Namun Tuhan menyuruhku untuk membuat puisi itu menjadi buku. Dan buku itu diberi judul Pancasila Meniti Zaman. Kutulis format Puisi Meniti Zaman itu menjadi buku. Dan inilah buku itu:

Melihat buku itu jadi, aku tertegun-tegun sendiri, karena bagaimana mungkin aku bisa mengejakan setiap kata dari butir-butir Pancasila itu menjadi filosofi puitis yang merasuk ke dalam jiwa, tapi dengan kata-kata yang sederhana tapi indah karena puitis.

Padahal sebelumnya aku ini tidak bisa menulis dan demikianpun tak mudah bagiku memahami hakikat ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu, karena duniaku sangat jauh dari dunia filsafat. Maka setiap kata yang kutuliskan itu niscaya tidak berasal dari dalam diriku sendiri.

Dan yang ingin kunyatakan di sini ialah bahwa semua kalimat itu, walau tersusun sesuai dengan jalan pikiranku dan sesuai dengan kemampuanku yang sederhana itu, tapi itulah puisi yang dibimbingkan oleh Malaikat Jibril kepadaku. Sungguh dialah yang membuat puisi itu untukku.

Aku tak sedang dalam kerasukan ketika menuliskannya. Perasaanku normal dan wajar sekali, seakan-akan aku mengambil setiap kata itu dari dalam diriku sendiri. Kata-kata itu sudah tersedia, tinggal aku menuliskannya saja. Tapi aku menyadari itu bahwa inilah yang disebutkan dengan Karunia dan Berkah Tuhan, sebagaimana itu adalah suatu yang tak pernah dimiliki dan kemudian termiliki.

Demikian kisah nyataku di balik penulisan buku Pancasila Meniti Zaman yang diterbitkan pada bulan Mei 1998. Dan ternyata buku itu dititahkan Tuhan untuk di-launching pada tanggal 20 Mei 1998, maka kami mempersiapkan acara launching itu.

Kebetulan sahabat kami Pak Eddy Utoyo, waktu itu adalah Direktur Utama Jakarta Design Center, dan dia pulalah yang mendesain buku Pancasila Meniti Zaman tersebut. Demikian acara launching buku Pancasila Meniti Zaman diputuskan akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 di gedung Jakarta Design Center. Terima kasih Pak Eddy Utoyo yang tercinta.

Sementara itu, kami ini sesungguhnya sedang berpuasa panjang, dan puasa itu adalah puasa spiritual. Dan tentang hal itu sudah pernah saya tuliskan di artikel yang berjudul Ora et Labora. Bahwa tanpa sengaja kami terlibat di dalam keinginan teman kami yaitu Mohamad Sobary yang ingin memuasakan kejatuhan Soeharto. Tentang hal itu lebih baik Anda baca di artikel Ora et Labora yang sudah saya tuliskan lebih dahulu. Maka saya tak perlu menerangkan lagi di sini.

Begitulah, puasa kami itu memang berakhir di tanggal 20 Mei itu, tepat saat kami me-launching buku Pancasila Meniti Zaman. Akan tetapi ternyata pada hari itu terjadi demonstrasi besar-besaran yang menduduki gedung DPR, yang kebetulan letaknya berseberangan jalan dengan gedung Jakarta Design Center, maka tamu-tamu yang kami undang tak datang, hanya satu dua yang datang. Sedangkan hidangan yang kami siapkan untuk perjamuan acara kami itu pun menjadi berlebihan. Tapi Tuhan menyuruh kami membawanya ke gedung DPR. Semua makanan itu kami bawa ke gedung DPR. Dan beruntunglah kami diperkenankan masuk ke gedung DPR.

Dan benar saja, di sana para mahasiswa sudah keletihan dan lapar. Maka semua hidangan yang kami bawa pun menjadi tepat guna. Kemudian kami di DPR sibuk menerapi anak-anak mahasiswa yang keletihan dan kami menyanyi untuk mereka. Begitulah tanpa disengaja, kami terlibat di dalam masa-masa perubahan yang bersejarah di tanah air.

Yang ingin kubicarakan di sini ialah bahwa ternyata sejak dari awal takdirku, Tuhan sengaja melibatkan aku untuk menuliskan ideologi bangsa dan negara yaitu Pancasila. Sekaligus menggiring aku untuk mulai terlibat memikirkan ideologi Pancasila tersebut. Karena ternyata, saat ini Tuhan menyatakan kepadaku bahwa sungguh Dia memberkati Pancasila. Karena Tuhan sudah mempersiapkan ideologi Pancasila untuk negara Indonesia yang akan didatangi Surga dan Kerajaan Tuhan.

Dan adapun yang dimaksudkan Tuhan itu ialah bahwa ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu sesungguhnya sudah dirancang oleh-Nya untuk mempersatukan semua agama dan semua umat. Sebab manalah Surga dan Kerajaan Tuhan yang diturunkan di Indonesia itu, Teologinya dibiarkan bertentangan dengan ideologi negara dan bangsa Indonesia. Demikian, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu sangat sesuai dengan Teologi Surga Eden.

Demikian Tuhan menyampaikan kepadaku bahwa Teologi Surga itu bila ingin diuraikan untuk menjadi ideologi kenusantaraan, maka menjadilah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Teologi Surga adalah memutlakkan Ketuhanan Yang Maha Esa demi mengembalikan Ketauhidan semua ajaran agama dan mempersatukan semua agama demi perdamaian dunia, sebagaimana makna itu bisa disinonimkan dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Maka aku dititahkan Tuhan untuk menyampaikan Pemberkatan Tuhan atas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Maka sungguh tidak pada tempatnya kalau Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu dipantangkan dan dinistakan. Padahal sesungguhnya ideologi itu pun berasal dari Tuhan. Selayak semua hal itu memang niscaya selalu berasal dari Tuhan. Apalagi bila itu diinginkan untuk menjadi ideologi suatu negara. Demikianlah Proklamator Indonesia, Soekarno, diinspirasikan Tuhan bait-bait Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Demikian, Soekarno, sang Proklamator sebagai penggali Pancasila.

Aku ini sekedar menjadi perantara dari Tuhan untuk menyatakan kepada bangsa Indonesia, bahwa Tuhan memberkati Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Maka hendaknyalah Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika jangan diganggu gugat, karena Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu pun berasal dari Tuhan. Dan Tuhan meyakinkan bahwa Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika itu diberkati oleh-Nya.

Adapun tentang hal itu, aku sedang diarahkan Tuhan untuk menuliskan Wahyu-Nya. Namun Keterangan Tuhan cukup panjang tentang hal itu dan belum selesai kutuliskan. Demikian aku hanya bisa menyatakan bahwa Tuhan memberkati Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Bagiku, tak ada yang lebih mengesankan daripada merasakan bagaimana Tuhan menggiringku dari seorang yang awam sehingga menjadi penulis Wahyu-Nya dan bagaimana Dia melibatkan aku untuk mengalihkan perhatianku dari berkesenian dengan bunga, beralih ke Pewahyuan yang di dalamnya aku harus memikirkan ideologi negara dan bangsa Indonesia yang diberkati Tuhan. Dan aku harus bisa menjabarkannya dalam kalimat yang lugas dan sederhana sehingga mudah dipahami oleh semua orang.

Puisi langgam Pancasila Meniti Zaman bagaimana mungkin aku bisa menuliskannya bila tak dimaksudkan Tuhan sebagai penjabaran Pancasila yang lebih asyik, agar masyarakat lebih bisa menghayati Pancasila dan mempedomaninya menjadi pegangan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya kupersilahkan Anda membaca lika-liku Pensucian Tuhan kepadaku sampai aku bisa menuliskan buku Pancasila Meniti Zaman tersebut dalam artikel Ora et Labora.

Namun sebelumnya, aku melampirkan juga satu bab dalam buku Pancasila Meniti Zaman yaitu Pancasila di zaman globalisasi. Kupilih mencuplikkan bab Zaman Globalisasi, karena kulihat isinya itu sangat memadai untuk mengedepankan bukti bahwa yang kutuliskan itu adalah inspirasi dari Tuhan secara langsung, karena aku menuliskannya di zaman Soeharto, 20 tahun yang lalu. Sedangkan isi puisi zaman globalisasi itu baru terjadi sekarang.

Kiranya para pembaca yang baik bisa melihat itu sebagai nubuah akhir zaman yang diinspirasikan Tuhan dan yang dibimbingkan oleh Malaikat Jibril agar kutuliskan untuk bangsa, bahwa sungguh Tuhan memberkati Pancasila.

Inilah puisi Pancasila Meniti Zaman dalam Bab Zaman Globalisasi

Zaman Globalisasi

Berdentang lonceng dunia
Tanda tak ada lagi batasan ruang dan waktu
Seluruh dunia tak dapat menutup mata dan telinga
Kembang-kembang bertaburan di pojok dunia
Seluruh dunia merasakan harumnya
Berdecak lidah di Cina, berdehem kita semua

Tepuk tangan bergemuruh di seluruh dunia
Ketika Mike Tyson menyarungkan tinjunya
Bergemuruh siulan seluruh bangsa di dunia
Ketika pesta kembang api digelar di sini

Pemimpin menang dinobatkan di singgasana dunia
Pejuang mati ditangisi dunia
Semut mati terinjak, dikabarkan ke negeri gajah
Berhamburan berita layak dan tidak layak
Kepompong ingin cepat mengoyak dirinya
Tak tahan mendengar hiruk-pikuk di luar

Banyak paham di dunia
Mengira negara adi kuasa dapat berbuat apa saja
Tak menyahut kalau ditanya
Menjadi sasaran peluru kendali
Saddam Husein jadi contoh
Kesewenang-wenangan sang adi kuasa
Siapa penjahat perang sebenarnya

Peraturan dibikin sendiri
Siapa yang mau berhutang, siapa yang mau meminta bantuan
Tergantung keikhlasannya

Tak memperoleh keikhlasannya
Badan sengsara
Jangan dipuji orang serakah
Kepala besar, bertolak pinggang
Memerintah kiri kanan
Mengeksekusi seenaknya
Mau menampar, mau menembak
Tak ada yang boleh melarang

Barang kita dirampasnya
Pembayaran hutang tetap dimintanya
Sampai luluh kita bekerja
Tak berdaya mengusirnya
Melepaskan diri dari cengkeraman

Kita mencari pijakan dari persatuan
Melepaskan diri dari kemiskinan
Kita menggali sumur jadi kilang
Lemparkan lembing itu
Cari mesin keduk
Ada pasir, ada batu kali, eh…ada emas juga

Mau apa lagi
Emas didulang, emas ditata, emas dijual
Bayar hutang kini tak masalah
Pasar bebas sempat membuat masalah
Kita tak siap ditimpa pasar bebas
Apalagi bersaing

Langkah baik meyakinkan kita
Dengan Nama Allah kita bangkit
Ekonomi ditata, wajah bangsa diusap
Emas menjadikan rupiah naik gengsi
Minyak jadi pelicin, rupiah menjadi devisa

Sudahkah Indonesia merdeka?
Tak mudah memindahkan mereka
Apalagi mengusirnya
Kepalang tanggung kata mereka

Ada emas di sini
Juragan bule jangan dikasih hati
Tumpul kita dibuatnya
Tak ada uang, kita dipijaknya
Ada uang, kita mau dikibulinya

Jangan percaya kuda putih
Suka nyeruduk pekarangan orang lain
Tombol mekanisme dunia ada di tangannya
Bau apa saja dapat diciumnya
Matanya nyalang, mencari kesempatan
Semua bangsa ingin dikuasai
Tangannya mencengkeram tak dibatasi
Mereka mengikat talinya di sini
Melalui bantuan, nasib kita terikat dengannya

Senyuman manis pada awalnya
Menjadi tangisan sejarah bangsa kita
Bagaimana kelancungan itu
Telah menarik raksasa memijakkan kakinya di sini

Berita ada gunung ditaburi emas
Ternyata membawa perisai dan pentungan
Berduyun-duyun orang mencari tali
Katanya, tali mereka ditanggung tak dapat putus
Kita mengikat tali di lereng dan di lembah

Katanya, tali itu tak akan diikat di hati mereka
Bergayung-gayung timah dicangkul
Berpikul-pikul emas digali
Tali menjadi rentan, pemilik tali mengatakan,
’Kerentanan itu karena tidak ada hujan di negerinya’

Kita berdehem saja, disangkanya meludah
Di tepi gunung ada padi menguning
Katanya, ’padi itu mereka yang menanamnya’
Kita menggali sumur, airnya menjadi ukuran timbangan
Katanya, ’air itu mengalir dari kepintarannya menadah hujan’
Sibuk menggali, sibuk menendang
Temui penjajah ekonomi, dia pasti berkata, ’Hakku,
tebasanku’

Kolong jembatan pun miliknya
Siapa yang menanyakan haknya,
dia pun menjadi pengisi krematorium
Supaya kita menjadi pemilik gunung kencana
Seludang mereka dilepaskan

Ke mana mencari pembersih seludang?
Di Timur ada sumur tuba yang perlu ditimbun
Berhamparan tuba kemasan dijual di sana

Pemilik sumur tuba tak pernah mengaku menjual tuba
Piring dibersihkan
Disisipkan di antara piring-piring kaca yang tersimpan di
lemari Pancasila
Kemarikan segala kepahitan, di sana pasti ada bekas tuba

Keberanian menciptakan burung Garuda berkaki emas
Telah membuat kita disegani dunia
Siapa tak ingin menjadi sahabat dunia
Pancasila dikibarkan, Pancasila diunggulkan

Pelita kemenangan menebarkan sinar kemilau ke negara sahabat
Setinggi-tingginya ilmu didaki,
lebih tinggi lagi keinginan berkuasa
Sejauh-jauhnya perahu berlayar,
lebih jauh lagi pulau yang dituju

Kepingan ketangguhan meluncurkan kemauan menyatu
Kita bersatu dengan negara sahabat
Beramai-ramai menanam padi
Beramai-ramai menanak nasi

Bongkahan kekuatan, lebih kuat bongkahan persatuan
Tetangga bertepuk, kita menoleh
Kita mengerling, mereka tersenyum
Senyuman persatuan, senyuman kekuatan

Berakit-rakit ke pulau senyuman
Bersenang-senang ke pelupuk kebahagiaan
Melepas sandal di surau, sahabat menapakkan kaki di langgar
Mendengar azan di setiap persiapan rumah sahabat

Tak dapat disanggah, kita merasa di rumah sendiri
Kemenanganku, kemenanganmu
Kemenangan kita semua

Indonesia bersinar
Menjadi sahabat negeri berkembang
Indonesia muncul ke permukaan
Menyatukan salam

Layakkah ini kupikirkan?
Saat ini kita sedang menangis
Banyak hal tak dimungkinkan
Banyak hal yang bisa dituliskan
Kubaca ini dari dalam hati
Keberkahan bangsa kita, mana mungkin kusimpan
Pikirkan masa depan dunia
Seandainya tak ada persatuan di antara sahabat
Betapa kemandulan ekonomi akan menimpa kita semua

Kentang dan padi ditanam di ladang
Kentang berbuah, padi merunduk
Kemenangan tak mungkin diraih
Bila kita tak jeli melihat cuaca

Kembalikan tanahku
Retak di bukit, tak retak di pesisir

Berikan getah karetku
Lentur karetku, tak lentur gunungku
Simpan emasku
Berkilau emasku, tak berkilau tambangku

Bersiullah burung Garudaku
Merdu siulannya, tak merdu cakarnya
Berita perpaduan bangsa-bangsa yang bersahabat
Menegakkan bulu kuduk siapa saja yang menginginkan
Cakarnya mencengkeram dunia

Pancasila bercakar emas
Cakar digesekkan, emas bertaburan
Pentingkah cakar emas diciptakan?
Ciptakan kebahagiaan yang dapat disemburkan ke mana-mana
Maka kita akan berlumuran emas dari pintu persatuan
Pancasila ditantang
Pancasila dipantang

Mana masa yang terang?
Maka ditampakkan padaku
Masa yang penuh berkah itu
Setelah belalang menyusahkan dunia
Saat dunia disesakkan oleh kuman
Saat teknologi merusak keseimbangan alam

Saat dunia dipenuhi kemalangan
Saat teknologi membalik budaya
Saat dia juga membutakan iman

Tak pandai aku menyampaikannya
Tapi di langit ada bintang yang besar menyapa Bumi
Katanya Matahari semakin dekat
Tanda Bumi akan menjadi panas
Tanda dunia banyak malapetaka
Tanda waktunya semakin cepat

Dunia berputar mendekat Matahari
Sehingga Bumi penuh derita
Di mana masa terang itu?
Jejak masa lampau dihubungkan dengan masa depan di sini
Bintang terang menyinari bangsa Indonesia
Ketika Pancasila terbang di persilangan dunia
Ketika burung Garuda disoroti dunia
Ketika bangsa Indonesia disimak dunia
Pancasila menguak dunia dengan bintang di dadanya
Ketuhanan Yang Maha Esa menerangi bangsa Indonesia
dengan Sinar-Nya

Itulah masa terang itu
Ketika kita berlari-lari menjangkau globalisasi
Ketika masa suram telah berlalu

Ke mana cakar digenggamkan,
di sana melekat tempat berpijak
Ke mana emas dibagikan, di sana kemilau persahabatan diikat
Pandai emas berkata, ’Emasku, kemilauku’
Pancasila bercakar emas di zaman ini
Tak ada emas yang tak berkilau

Kemilau cakar emas telah menyilaukan dunia
Pentingkah kita menanamkan genggaman emas?
Setiap genggaman mengikat kita pada kekuatan
Kekuatan yang dilahirkan oleh kebersamaan
Menyemai emas di dunia
Semaikan emasmu, semaikan senyumanmu
Bumi memberikan kekuatan

Berkancah emas, berkancah senyum
Temani aku melepaskan kerisauan
Titik pusat Bumi selalu berputar
Jangan biarkan kita mendayung ke pantai gersang
Berikan dayung ini kepada perenang tangguh
Bentangkan layar yang tahan badai

Bisikkan padanya, ’Indonesia telah sampai ke pulau bahagia’
Padanya diharapkan menatanya
Elok Pancasilaku, elok bangsaku
Penulis berkata, ’Pancasilaku, kebanggaanku’
Bangsa-bangsa tertunduk penuh duka
Bumi digenangi air mata
Matahari memanaskan Bumi
Sungguh panas siang ini
Malam pun jadi pendek

Sang waktu bergegas
Takdir umat manusia
Disapa keserakahannya
Mengapa Bumi ini penuh bencana?

Kualitas manusia sudah membusuk
Manusia tak menyapa Allah
Kitab Suci dibiarkan tak diminati
Menjadi congkak karena segenggam ilmu

Supaya bulan dapat dihuni
Banyak satelit diluncurkan
Keinginan menguasai dunia
Menjadikan manusia berlomba merakit nuklir
Senjata nuklir menjamin kekuasaan
Tangga kekuasaan menjulang ke langit
Menggapai langit, tak menggapai Allah

Jangan ditanya mengapa Allah mengingatkan
Tanya berapa dosa itu?
Gagalkah Ajaran Allah di muka Bumi ini?
Kumpulkan dosa itu
Tak seimbang lagi dengan kebenaran
Mana kemuliaan cinta?
Mana kesucian hati?
Waktu tak lagi mau menunggu
Takdir telah sampai
Pancasila meniti zaman
Akan sampai pada akhir zaman
Di sini aku masih berdiri
Menatap masa depan yang penuh tantangan

Matahari masih bersinar
Belum saatnya mengakhiri zaman
Alam berkata, ’Jagalah aku, cintailah aku’

Kuambil Pancasilaku
Kuusap bintang di dadanya
Burung Garuda itu berkata,
’Bersama Pancasilaku, bersama Tuhanku’
Tangisan dunia
Mencairkan kebekuan iman
Batu pun ikut menangis
Bayi baru lahir tak sempat menikmati kebahagiaan

Muntahan lahar
Membuat Bumi semakin panas
Gletser mencair
Mendinginkan benua

Demam sekujur tubuh tak mau reda
Guru mengajarkan
Jangan jajan di jalan
Tak laku pedagang kaki lima
Kuman dan belalang musuh utama manusia

Ada benua tertimbun bongkahan es
Ada kota rubuh karena gempa
Tangisan dunia, tangisan umat manusia
Tak ada penderitaan sepedih ini

Kuambil pena
Kutuliskan cerita sedih ini
Kubuka buku harianku
Kucatat tanggal hari ini
Kumau puisiku ini
Mau dibaca, mau diingat

Di sini kutulis
Kesedihan umat manusia di masa depan
Agar kita dapat menjawab
Tantangan masa depan itu
Tak berbanding, tak berbilang
Duka dan bahagia perjalanan sejarah

Semoga buku Pancasila ini
Dapat menemani Anda menapaki sejarah masa depan

Pancasila pernah dirundung duka
Pernah menangis
Pernah tersenyum
Pernah berkaki emas
Pernah mengitari dunia

Perkasa, sakti dan bijak
Itulah Pancasilaku
Pancasila bangsaku
Menyongsong hiruk pikuk dunia
Mentari menyinarinya
Allah bersamanya
Subhanallah


Adapun kalau ingin membaca selengkapnya Buku Pancasila Meniti Zaman, silahkan klik link download berikut:
https://drive.google.com/open?id=16o3Gj76YCDYvRtNEdhpJOwBtCdKSJuTq


Dan di bawah ini aku menyertakan artikel Ora et Labora yang di dalamnya terdapat penjelasan peristiwa yang mendahului penulisan buku Pancasila Meniti Zaman. Dan pengalaman kami tersebut sungguh adalah pengalaman spiritual yang tak bisa kami lupakan, karena peristiwa demi peristiwa yang kami lalui hingga kepada penulisan buku Pancasila Meniti Zaman sungguh adalah perjalanan spiritual pensucian kami, sekaligus merupakan pengalaman kami dalam bersaksi atas sejarah bangsa kita.

https://komunitaseden.com/2015/11/25/ora-et-labora-2/