Demi Ruang Penyelarasan yang kami tujukan untuk memperjelas kedudukan kami dan kedudukan pihak-pihak yang menolak Wahyu Tuhan yang telah kami sampaikan, demikianpun Ruang Penyelarasan kami tujukan untuk memperimbangkan kebenaran-kebenaran yang diyakini pihak lain dengan kebenaran yang diyakini oleh Eden.

Demikian kami menjajaki kemungkinan penyelarasan terhadap pihak-pihak yang menyerang Eden. Bilamana dimungkinkan bisa diadakannya penyelarasan, demikian tema yang kami sajikan saat ini baru dua tema, yaitu tulisan Marzani Anwar di Kompasiana.com dari tanggal 2 Agustus 2015 hingga 6 Oktober 2015, dan Fatwa MUI yang dikeluarkan pada 22 Desember 1997 dan telah dijawab oleh Malaikat Jibril pada tanggal 9 Juli 1999 dalam buku Fatwa Jibril versus Fatwa MUI, sebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim

Salam Salamullah

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Telah diterima Surat Keputusan Fatwa Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia terhadapku dengan nomor keputusan: 768/MUI/XII/1997, 22 Desember 1997. Pemberitahuan fatwa itu telah diumumkan kepada masyarakat berkenaan dengan liputan wawancaraku. Wawancara itu telah dimuat di majalah Gatra No. 42 Tahun IV, 5 September 1998.

Pengalamanku bersama Malaikat Jibril saat fatwa itu diturunkan, belum cukup banyak. Aku belum lama mengenal Malaikat Jibril saat itu, dan pengakuanku tentang dia kumohonkan kepada MUI agar di-pending sementara, karena aku masih bingung apa yang sedang terjadi pada diriku.

Aku sendiri sedang shock dan bingung atas kehadiran Malaikat Jibril. Namun MUI tak mau mendengar permohonanku. Keputusan fatwanya pun diturunkan.

Saat membela diri pun, ketika disidangkan oleh Komisi Fatwa MUI pada tanggal 11 Nopember 1997 di Masjid Istiqlal itu, tak membawakan pengadilan yang adil bagiku, karena penjelasanku tak didengarkan dengan seksama dan selalu terpotong oleh interupsi. Tak ada penjelasanku yang dapat kujelaskan dengan tuntas. Semuanya serba sepotong-sepotong, dan pimpinan sidang Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Ibrahim Hosen tak memberikan pengarahan apa-apa kepadaku saat itu.

Sidang dipimpin tersendat-sendat dan tak mengulas materi dengan jelas dan tuntas. Tanggapan yang diberikan tak pernah sampai kepada inti masalah. Setiap tanggapan terkatung-katung dan tak membahaskan pokok persoalan, melainkan hanya menyampaikan purbasangka-purbasangka yang dijawab sendiri, karena tanggapan kami tak pernah dibiarkan selesai disampaikan.

Ketika kuruntut seluruh pertanyaan dan jawaban-jawabannya, tak satu pun yang mengena terhadap masalah pembahasan kasusku. Sebuah pertanyaan yang diajukan kepadaku telah menempatkanku sebagai seorang yang sangat bodoh dan tak berwawasan. Mungkin beliau ingin menguji ketidaktahuanku. Saat aku ditanya, berapakah kemungkinan kemampuan metafisis yang kumiliki, aku tak bisa menjawab pertanyaan itu segera, karena kami diajarkan oleh Malaikat Jibril agar tak menempatkan keajaiban selalu sebagai patokan pembenaran. Dibiasakannya kami selalu menyesuaikan segala urusan dengan sistem dan cara sunatullah.

Kehadiran Malaikat Jibril ingin dipertanyakan keberadaannya dengan mukjizatnya dan ketika kujawab, “Aku diajarkan selalu melalui sunatullah, segala urusan itu harus ditempuh dengan sunatullah”. Dan dia bertanya ndedes (dengan tekanan): “Apa sunatullah itu? Terangkan sunatullah itu!”.

Dan aku hanya bisa menjawab, “Manusia dilahirkan tumbuh dan dewasa, itulah sunatullah.” Sungguh jawaban ini dibiarkan menganga, tak digubris lagi.

Mengapa hal itu yang ditanyakan? Mengapa tak ditanyakan, mengapa Malaikat Jibril itu datang, apa saja yang telah diajarkan kepadaku, dan apa saja yang telah disebutkan kepadaku untuk bangsa ini? Mungkinkah dia benar-benar bisa membantu kita, ataukah seberapa jauh kemungkinan Jibril itu turun? Mengapa tak dibiarkan saja waktu berlalu sambil mengumpulkan bukti, benarkah dia itu Malaikat Jibril?

Bukannya aku ini mau mengaduk-aduk umat. Bukankah buku dan tulisan-tulisan pelajaran dari Malaikat Jibril itu telah kusampaikan? Daripadanya dapat terlihat keinginan baik dan pelajaran dari Malaikat Jibril. Mengapa aku sangat ditakutkan membawa ajaran sesat, sedangkan aku telah meminta MUI untuk meninjau tempat kami dan mengkaji keadaan kami? Bukankah kami telah membuka diri dan minta untuk dibina dan diteliti? Mengapa itu tak dilakukan sehingga fatwa itu diturunkan?

Malaikat Jibril meminta aku menuangkan isi fatwa itu dalam tulisan rekaman pembelaan diriku ini dan menyebutkan dalil-dalil yang diajukan oleh MUI dan dia ingin menjawabkannya untukku. Dan berikut inilah jawaban dari Malaikat Jibril terkait dengan Fatwa MUI itu.

JAWABAN TERHADAP FATWA MUI

Terbiasa menunggu pengarahan Malaikat Jibril kepadaku telah membuatku, di dalam sidang Komisi Fatwa MUI tempo hari itu, tak berani tampil sendiri menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Aku mengharapkan dialah yang menjawabkan untukku, maklum aku sangat bingung dan ini adalah masalah yang paling awal bagiku. Sungguh aku tak sanggup menjawab apa pun bila itu menyangkut pertanyaan tentang keagamaan. Sungguh aku tergantung sepenuhnya kepadanya saat itu. Namun saat itu dia bungkam. Dia membiarkan aku kelabakan sendiri.

Walaupun aku bersama beberapa teman-temanku di situ, tapi sidang hanya memperkenankan aku berbicara, sedangkan aku ini seperti pohon bayam yang baru tumbuh, menghadapi pohon beringin yang besar. Sedangkan Jibril yang kuagunkan tak mau menjawabkan untukku. Dia ternyata senang melihat keadaanku seperti itu.

Katanya, dia mau melihat segalanya dengan apa adanya. Setelah keluar dari tempat sidang itu, dia seakan-akan mengusapku dan menyatakan, “Sabar, sabar.” Tentu saja aku gemas dan kesal dengannya, merasa dijerumuskan. Namun belakangan aku mulai memahami mengapa dia melakukan itu.

Dia bertanya kepadaku: “Berapa banyak masalah bangsamu ini dan berapakah sebenarnya tanggung jawab sebuah dewan seperti MUI itu?”

Bila itu diperhitungkan melalui Ketentuan Allah, MUI itu sesungguhnya sebagai dewan penanggung jawab seluruh masalah keagamaan di Negara Indonesia. Kedudukannya itu seimbang dengan Mahkamah Agung. Maka segala keputusannya adalah ketentuan yang meliputi pertimbangan akurat menurut Al Quran, dan pengentasannya pun melalui penentuan yang menyangkut kemanfaatan serta yang memberikan kemufakatan yang baik bagi kemaslahatan umat untuk peranannya di dunia maupun di akhirat. Atau menghindarkan maupun menghentikan kemudaratan yang sedang atau akan terjadi oleh sesuatu yang dikhawatirkan atau yang telah terbukti kemudaratannya. Untuk ini pun MUI itu sangat penting peranannya untuk menjaga dan melindungi kemaslahatan umat dan bangsa. Demi ini pula Majelis Ulama merupakan dewan yang tertinggi pada sebuah bangsa.

Menurut Malaikat Jibril, ketua MUI sesungguhnyalah yang berwewenang mengentaskan segala keputusan dan undang-undang setelah dipertimbangkan oleh DPR dan MPR. Namun MUI-lah yang mensyahkan keputusan itu. Maka sesungguhnya di balik peristiwaku ini, Jibril ingin memperlihatkan sikap dan wewenang MUI kepadaku, bagaimana mereka menangani kasusku, bagaimana keadilan mereka, dan bagaimana wawasan dan sistem mereka. Dia sengaja menontoniku diam-diam tempo hari karena menurutnya itu adalah wawasan ujian untukku, tampil membela diriku, dirinya, dan Amanah Allah ini.

Siapa yang sedang diadili, seharusnya MUI lebih awas menyimak. Aku tak sedang menyebutkan nama yang tak penting. Mungkin aku ini bisa dianggap sedang mengigau. Namun keterangan-keteranganku itu seharusnya jangan ditelantarkan seperti itu. Bukankah tak ada keteranganku yang menyimpang dan sesat? Bukti-bukti yang kuajukan cukup banyak untuk mereka. Tiga bukuku yang kuterbitkan dan satu kumpulan ceramah Jibril, mengapa itu tak dicoba untuk dinapaktilasi?

Bagiku mungkin wajar MUI bersikap demikian, karena aku tak pandai menjawab desakan pertanyaan mereka di saat sidang itu. Lagipula kasus-kasus sekte sesat memang sudah banyak terjadi. Bahkan aku ini telah disamakan dengan seluruh kasus itu. Peranan MUI memang serba tanggung, kata Jibril. Urusan sekte sesat yang ditangani MUI kebanyakan ditujukan terhadap majelis-majelis pengajian atau tarekat yang berada di dalam wawasan Islam.

Sedangkan pengikut sekte sesat, peranan dukun dan paranormal, aliran kepercayaan dan kebatinan serta kejawen dibiarkan dan tidak disebutkan sebagai pengikut aliran sesat. Sedangkan nyata-nyata ajaran Islam itu di sana disimpangkan. Pernyataan-pernyataan fatwanya lebih ditujukan pada masalah ekonomi dan politik seperti label halal dan masalah gender terhadap kepemimpinan dan bahasan politik. Dan kebanyakan fatwa itu semacam pendaurulangan legitimasi.

Manakah fatwa-fatwa MUI yang berkenaan dengan segala kerusuhan di dalam era reformasi ini? Manakah fatwa yang berkenaan dengan pembunuhan-pembunuhan terutama pembunuhan karena SARA, maupun pembunuhan dukun santet, dan perilaku ninja dalam peristiwa Banyuwangi dan Ciamis Pangandaran, dan pertikaian etnis di Pontianak dan Sambas yang melibatkan masalah kekejaman metafisis? Manakah fatwa yang melarang atau mengantisipasi perpecahan Islam oleh partai-partai?

Fatwa murtad bila memilih PDI Perjuangan telah dijadikan Allah sebagai blokade penyalahgunaan fatwa. Mungkinkah memilih PDI Perjuangan itu menjadikan seseorang itu murtad dari imannya, sedangkan PDI Perjuangan itu bukanlah sebuah agama? Bila Megawati dituduh murtad, janganlah mengatakan pemilih PDI Perjuangan itu murtad bila tak memilih partai lainnya yang berafiliasi pada politik keagamaan. Sungguh partai-partai itu bukanlah agama. Selama pengikut PDI Perjuangan tetap menjalankan syariat Islam dengan benar, tidaklah dia murtad. Pilihannya terhadap PDI Perjuangan adalah pilihan politiknya, tidaklah dapat menyanggahkan kemurtadan itu, untuk pilihan seseorang terhadap pilihannya dan kepercayaannya untuk menyalurkan aspirasinya.

Dalil dan Ayat-ayat Allah telah dijadikan penghalang dan legitimasi. Sungguh semua partai dapat dipercaya ketinggian niat perjuangannya. Kebenaran dan kejujurannya sangat terpaut dengan rekayasa dan keinginan terhadap kemenangan partainya. Bila ideologi dan semboyan itu benar dan baik, serta tak menyalahi ajaran agama, tidaklah itu sebagai pelanggaran agama atau kemurtadan. Maka ada unsur kebenaran dan juga ambisi dalam menyatakan sebuah fatwa. Maka bila hakikat fatwa itu akan dikoreksi oleh Allah, maka jadilah fatwa itu membalik. Siapa murtad, berapa banyak yang murtad? Oh, alangkah banyaknya orang yang murtad oleh fatwa MUI.

Wahai MUI, berapakah bilangan orang-orang yang murtad itu? Dapatkah MUI mengembalikan mereka menjadi beriman kembali? Tanggung jawab MUI adalah memelihara iman bangsa kita sehingga kita harus menjunjung tinggi fatwa-fatwanya. Sebaliknya MUI adalah lembaga yang bertanggung jawab di hadapan Allah atas kemurtadan bangsa Indonesia, bila itu dinyatakan sebagai kemurtadan. Bila telah menempati kedudukan itu, senantiasa tanggung jawab itu pun menjadi kewajibannya.

Bagaimanakah MUI mengatasi masalah pengingkaran umat atas kemenangan PDIP itu? Mereka semua menjadi murtad bila merujuk kepada fatwa MUI. Tapi mereka semua mengingkari MUI. Ada apa? Tentunya semua itu Kehendak Allah untuk mengoreksi MUI yang telah membuat fatwa tanpa menyertakan dalil-dalil yang tepat dan benar. Terbiasa membuat fatwa legitimasi, demikian penjelasan Jibril kepadaku.

Betapa dalil-dalil kitab suci telah dijadikan slogan-slogan partai. Pemuatan ayat-ayat suci untuk meraih suara sebanyak-banyaknya di antara golongan-golongan partai itu telah menjadikan ayat-ayat suci untuk melegitimasi semboyan partai, bukan sebagai kesucian dan Kesakralan Allah. Berapa banyak dalil-dalil yang dijadikan legitimasi, mengapa dibiarkan? Semua itu adalah tugas MUI untuk mengingatkan.

Aku memang menilai penuturanku saat itu tak sampai mendasar, ketika aku mencoba menjelaskan tentang bagaimana saat kejadian awal pertamaku dijumpai Malaikat Jibril, yaitu ketika aku merasa sedang memperjuangkan kebenaran yang sedang dikelabukan oleh Anton Medan.

Aku dan Anton Medan serta KH Zainuddin MZ dan KH M. Nur Iskandar adalah Pendiri Yayasan At Taibin. Di dalam pengurusan itu, aku menilai Anton Medan telah menjadikan Yayasan At Taibin sebagai penalaran pencapaiannya kepada suatu jenjang khusus, yang terlihat olehku itu sepertinya ditujukan kepada sebuah pengaruh untuk memasuki dunia politik dan kemapanan.

Urusanku di sana adalah untuk menyadarkan kaum praktisi kejahatan itu agar kembali ke masyarakat dan tak berbuat jahat lagi. Melihat perilaku Anton, aku pun menangani Yayasan At Taibin itu dengan gemas kepadanya, disebabkan ketidakjujurannya. Hal itu ingin kuklarifikasikan kepada pendiri yang lainnya. Demikianlah aku menemui Zainuddin MZ dan Nur Iskandar. Namun nyatanya mereka berdua sangat berpihak kepada Anton.

Persidangan itu pun menurutku sangat tak adil. Suatu kebenaran yang kuinginkan, yang kuharapkan dapat kuperoleh dari kedua ulama besar itu ternyata kosong. Keberpihakan dari awal rapat, yang serupa dengan penyidangan itu, tak berjalan sewajarnya dan tak adil.

Aku ini sedang bersama ulama besar, tetapi mengapa wejangan mereka kunilai tak pantas? Ada kesenjangan di antara predikat ulama itu dengan pertimbangan-pertimbangan yang dinyatakan mereka. Adakah sedemikian kenyataan ulama itu pada saat ini? Aku sangat kecewa. Kebenaran yang sedang kuperjuangkan mentok pada atribut kebesaran ulama.

Demikian aku mengadukan hal itu kepada Allah setiap malam di dalam tahajudku pada masa itu. Selama beberapa malam aku bersujud dan menangisi kebenaran-kebenaran yang sedang tertindas dan yang terselinapkan di dalam baju-baju kemunafikan. Aku berteriak kepada Allah agar memperlihatkan kebenaran itu kembali polos sehingga dapat dijamah lagi dan dapat dihidupkan. Telah berkarat kemunafikan itu ke dalam kebenaran. Kita lebih silau melihat kemunafikannya daripada kebenaran yang diperagakan. Bahkan kebenaran itu kini terlihat sombong dan pongah. Tak menjejak di bumi, melainkan diunggulkan dengan kefasihan menyebutkan ayat-ayat.

Kunyatakan kepada Allah, bila Allah memperkenankan aku menyongsong kebenaran itu, biarlah aku mati bersamanya. Akan kupajang kebenaran itu agar semua orang dapat mencintainya dan biarlah kebenaran polos yang lain itu dapat disingkapkan melalui caranya masing-masing. Demikianlah doaku itu pun dijawab Allah melalui pertemuanku dengan Habib Al Huda yang kemudian ternyata adalah Malaikat Jibril.

Beberapa penjelasan Jibril ingin kukemukakan sebagai jawaban atas surat keputusan fatwa MUI tersebut. Beberapa penjelasannya yang telah kusebutkan di dalam buku Perkenankan Aku Menjelaskan Sebuah Takdir (PAMST) ingin kututurkan kembali di sini, bahwa sesungguhnya tak ada ayat yang menyatakan sebuah ketentuan bahwa Jibril tak dimungkinkan turun kembali setelah selesai tugasnya bersama Nabi Muhammad. Justru beberapa ayat telah menunjukkan, bahwa Jibril itu dapat turun kembali menemui siapa pun sebagaimana tersebut dalam ayat berikut:

Kitab Suci Al Quran Surat Al Mukmin ayat 15:

(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy. Yang mengutus Jibril dengan (membawa) Perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).

 Kitab Suci Al Quran Surat An Nahl ayat 2:

Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) Wahyu dengan Perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.

 Kitab Suci Al Quran Surat Al Israa ayat 95:

Katakanlah: “Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul”.

 Kitab Suci Al Quran Surat Maryam ayat 64:

Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita, dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.

Berdasarkan beberapa ayat tersebut di atas, jelas Malaikat Jibril dimungkinkan menemui siapa pun. Bahkan Jibril sering turun membawa Mukjizat Allah di malam Lailatul Qadar, melayang mengitari bumi mencari orang-orang yang dipilih Allah mendapati Lailatul Qadar. Tak terbilang Lailatul Qadar yang telah dibagikan Allah kepada manusia, dan selamanya Malaikat Jibril-lah yang membawa turun Wahyu itu.

Setiap ketentuan sebuah takdir selalu diwahyukan Allah kepada Jibril yang akan meneruskan Wahyu itu kepada umat manusia. Maka setiap sebuah ketentuan Keputusan Allah itu diriwayatkan maupun disampaikan melalui ketentuan Wahyu. Siapa pun yang menerima sebuah ketentuan takdir ataupun rahmat yang berupa syafaat dan mukjizat, maka ketentuan itu selalu disampaikan berupa Wahyu. Seorang waliyullah seperti, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Jalaluddin Rumi, Ahmad Ibnu Hanbal, Imam Syafii, Ibnu Taimiyah dan Wali Songo di Indonesia, tidaklah dapat menyampaikan ajarannya bila mereka tak mendapat Wahyu.

Siapakah malaikat pembawa wahyu? Mungkinkah ada yang lain yang membawakan Wahyu bagi mereka? Mereka itu semua hidup setelah Nabi Muhammad. Tak ada malaikat pembawa Wahyu selain Jibril. Dan tak ada waliyullah yang mendapat pengajaran dari malaikat bila itu bukan dari Wahyu Allah yang disampaikan Malaikat Jibril .

Benarlah pertimbangan MUI, bahwa akidah dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan sangat penting dan harus didasarkan pada dalil-dalil qat’iy. Bagaimana sesungguhnya dalil-dalil qat’iy yang telah kami ajukan? Adakah dalil-dalil yang kami ajukan itu dhaif, dan tak mempunyai landasan? Betapapun aku ini sudah menyebutkan nama Jibril. Tentunya aku pun ingin menyatakan segala sesuatunya berlandaskan dalil-dalil yang qat’iy pula.

Mengapa tak disebutkan bahwa Malaikat Jibril itu “tidak turun sembarangan” saja. Janganlah dipastikan bahwa Malaikat Jibril tak akan turun lagi. Ini adalah suatu pernyataan yang gegabah. Bagaimana para ulama telah menyebutkan dalil yang telah membatasi kekuasaan dan Kewenangan Allah dan membatasi kewenangan Jibril.

Betapa Malaikat Jibril itu ternyata, sebagaimana yang dituturkannya kepadaku, adalah malaikat yang mempunyai tugas dan kewenangan menyelenggarakan dan mengatur serta menjaga keseimbangan, khususnya menjaga keseimbangan Ajaran Allah yang menjadi tugasnya sebagai Ruhul Kudus maupun sebagai Jibril pembawa Wahyu.

Bagaimana sebenarnya sistem Kewahyuan itu? Malaikat Jibril menerima Wahyu dari Allah yang menyebutkan isi Wahyu itu. Malaikat menerima Wahyu itu beserta seluruh kewenangan menyatakan dan membahaskannya, serta mengadakan perencanaan dan perincian tata pelaksanaan perintah Wahyu itu.

Malaikat Jibril menempatkan sebuah Wahyu itu dari perintah menjadi pernyataan kepada umat manusia dan membahaskannya dengan seluruh malaikat yang berkewenangan dan yang terlibat penugasannya dengan isi perintah Wahyu itu. Misalkan malaikat penjaga kurun waktu yang menjadi pemerhati waktu-waktu sejarah baik masa lampau maupun masa depan. Dia membuat jadwal terhadap setiap kepentingan isi sebuah Wahyu dan kepada malaikat penjaga manusia, yaitu Raqib dan Atid agar mereka mementingkan silaturahminya kepada manusia itu dengan banyak membisikkan kebaikan-kebaikan yang berkenaan dengan perintah Wahyu itu.

Banyak hal yang terlibat sehingga banyak malaikat yang juga terlibat. Malaikat penjaga kurun waktu memastikan sinkronisasi segala keadaan pada setiap kurun masa. Obyektivitas kelahiran dipenuhi. Demikian kejahatan dan kerusakan ditanggulangi ataupun dibiarkan. Semua itu harus tersesuaikan dengan malaikat penjaga takdir. Di sini malaikat penjaga takdir harus mengayomi setiap Takdir Allah agar berkelangsungan, tak berjejal-jejal atau tumpang tindih.

Dia pun menjaga kemaslahatan takdir-takdir itu. Di dalam penjagaannya pun mereka mengupayakan setiap pemimpin menjelajahi takdirnya sesuai dengan jadwal malaikat penjaga kurun waktu (masa). Dan masa itu pun akan berlalu melalui saluran penjadwalan yang semuanya itu terkait dengan jaminan pekerjaan malaikat penjaga umat manusia, yaitu Malaikat Raqib dan Atid.

Di dalam sistem kewahyuan, ternyata menjalin banyak kepentingan dan tugas malaikat-malaikat. Dan setiap ketentuan sebuah Wahyu Allah itu pun merupakan Fatwa Allah yang harus di penuhi oleh seluruh malaikat secara global. Maka setiap ketentuan sebuah Wahyu itu sangat dipentingkan oleh seluruh malaikat, sehingga jarak Jibril dengan seluruh malaikat itu sangat dekat. Mereka terikat di dalam penugasan setiap Wahyu.

Seluruh Ketentuan Allah tentulah bermula dari Wahyu. Setiap kata bagi Allah adalah Wahyu. Jikalau Allah menetapkan suatu perilaku keadaan dan sedang ingin merubahnya atau menjadikan suatu yang lain, takdir baru ataupun kesinambungan berkala, tentulah itu disampaikan melalui Wahyu kenabian. Jibril berada pada setiap awal Urusan Allah.

Penyatuan tugas Malaikat Jibril dengan para malaikat kepada manusia terbilang sebagai satelit dengan transmiter dan energi. Dia mempunyai bilangan global sebanyak sinar matahari, karena Jibril itu ternyata adalah ruh matahari. Betapapun ini adalah penjelasan spektakuler, namun biarpun demikian, bukankah telah ada Jibril di sini? Biar saja dia membuktikan hal itu kepada kita.

Berapapun kemudian dampak maupun perimbangan keberadaan sebuah wahyu, semua itu bergulir sesuai dengan sunatullah. Ada malaikat yang mengupayakannya dengan sungguh-sungguh, ada manusia yang menerimanya dan yang dapat juga mengusahakannya dengan sungguh-sungguh atau membiarkannya atau menolaknya ataupun menerima seadanya.

Kadar nalar maupun pertimbangan-pertimbangan yang melalui seleksi pemikiran maupun pertimbangan-pertimbangan yang telah terinduksi oleh bisikan iblis, semuanya itu menghasilkan kenyataan maupun kehadiran tanggapan-tanggapan yang berbeda dari umat manusia. Berapa yang berhasil dan berapa yang ditolak ataupun gagal, berbalik kembali kepada berapa besar kesanggupan malaikat membimbing dan berbisik kepada manusia dan berapa besar kemampuan manusia mengadaptasi kesucian maupun kebaikan dan kebenaran dari pemberitaan sebuah Wahyu itu.

Di dalam sebuah wahyu, berpendar perintah-perintah yang sehubungan dan yang terjalin terhadap banyak urusan. Di dalam sebuah perintah bisa terdapat gabungan beberapa urusan yang di dalam sebuah urusannya dapat mengaitkan sistem maupun individu. Dan di dalam setiap individunya ada perubahan maupun penyesuaian di dalam komunikasi sesuai dengan peranan masing-masing. Yang mana perubahan maupun penyesuaian itu harus dapat dikumpulkan dan dapat saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga dapat sinkron dan dapat menumbuhkan asumsi yang sama atau sesuai.

Sebuah asumsi maupun tanggapan, maupun penilaian, diperlukan peranan beberapa individu yang diagungkan maupun yang dihormati untuk dapat sampai pada suatu kesimpulan yang kukuh. Ilham dari alam gaib ataupun Wahyu hanya dapat dibakukan oleh kesaksian beberapa orang yang berilmu dan yang suci. Demikianlah sehingga dapat menghasilkan kemufakatan jumhur ulama dan dijaminkan menjadi dalil yang qat’iy.

Allah membaiatkan para waliyullah untuk sebuah penjelasan dan penjagaan atas Ajaran-ajaran-Nya setelah berakhirnya masa Nabi Muhammad. Segala penjelasan terhadap mereka itu adalah Wahyu. Maka apa pun yang telah disampaikan oleh para waliyullah itu adalah kelangsungan penalaran isi Al Quran. Mereka itu diberi ilham pembanding di dalam menyimak Al Quran yang tersesuaikan dengan sistem dan metodologi penalaran masing-masing.

Namun juga tak lepas dari keinginan kepentingan dan tentunya ambisi masing-masing sesuai dengan eksistensi mereka sebagai panutan di masyarakat yang terlibat di dalam segala interaksi politik kekuasaan yang berjaya maupun perjuangan oposisi, ataupun pendekatan terhadap kemaslahatan umat pada periode kehidupan mereka di dalam alam dan peradaban yang tanggung maupun yang telah mapan. Semua itu telah menghasilkan pembakuan metodologi spiritual yang bermacam-macam namun tersesuaikan melalui kumpulan kemufakatan.

Setiap asumsi dan penafsiran diarahkan oleh Malaikat Jibril untuk dapat mengikuti alur persesuaian. Melalui bisikan kepada naluri maupun kepada kepekaan nalar, Malaikat Jibril menyusuri pemahaman-pemahaman para jumhur ulama dan para waliyullah itu agar dapat mumpuni dan menjadi pegangan umat yang langgeng. Kepedulian malaikat tak dapat dipaksakan kepada umat manusia, karena komunikasi batin malaikat kepada umat manusia itu mudah tertutup oleh penalaran maupun kesanggupan umat manusia sendiri, melalui perimbangannya yang dilayakkan oleh penalarannya maupun melalui nalurinya. Belum lagi bila dia memiliki ambisi ataupun target yang dipengaruhi oleh iblis.

Betapa banyak kendala bagi malaikat dalam komunikasi mereka terhadap umat manusia. Demikianlah kepedulian malaikat itu seringkali telah membuat tugas malaikat tertunda ataupun gagal. Penyatuan kesepakatan maupun kemufakatan para jumhur ulama, dinyatakan oleh Malaikat Jibril sebagai pembakuan dalil-dalil yang qat’iy bila kesepakatan itu bulat. Dan ada pula penalaran dan metodologi ulama yang tak dapat dibakukan karena penalaran mereka itu tak menemukan tanggapan penjabaran yang runtut dan dapat dipertemukan dengan metodologi Islam yang telah termufakatkan.

Sampai di sini Malaikat Jibril mengisahkan kepadaku, bahwa kadang-kadang ada penjelasan yang jelas bagi seseorang namun tak jelas bagi yang lainnya. Sedangkan pernyataan yang jelas ini tak dapat bersambung dengan sebuah kewenangan decision maker yang sedang menjabat, sedangkan kewenangan kewalian itu tidak diturunkan Allah kepadanya. Kewenangan kekuasaannya menenggelamkan penafsiran seseorang wali terhadap sebuah masalah. Waliyullah yang dipesankan atau yang telah ditatar, tak berkutik menghadapi kewenangan pejabat. Kewenangan pejabat itu seringkali menutup perjalanan sebuah Wahyu.

Bagaimana sesungguhnya perjalanan sebuah Wahyu yang diupayakan untuk dibakukan di dunia manusia? Malaikat Raqib membisikkan kepada manusia supaya menyebutkan kebenaran dan menindakinya menjadi kebaikan. Sedangkan kepada jumhur ulama maupun waliyullah, Malaikat Raqib itu meneruskan ucapan-ucapan Malaikat Jibril .

Sepenuhnya perjalanan Wahyu Allah itu dikomunikasikan kepada umat manusia melalui jalur Malaikat Raqib. Sedangkan Malaikat Jibril itu menyimak secara keseluruhan, bila ada yang menenggang atau ada masalah yang sedang terjadi. Dia pun bergegas menyeleksi keadaan dan menempatkan kesulitan-kesulitannya itu dapat tegak kembali. Dan untuk itu dia berbisik langsung kepada mereka.

Setan maupun iblis, tak dapat membatasinya melainkan bila manusia sendiri tak suka menyimak hati nuraninya. Bila seseorang kurang peduli dengan kebajikan dan kebenaran, demikian ucapan malaikat itu terlewatkan. Bilangan kepentingan urusan yang menempatkan Jibril seringkali menerobos hati nurani ataupun naluri hingga penalaran umat manusia. Sedemikian pentingnya urusan itu, sehingga Jibril merasakan perlu mendorong seseorang mengikuti penalaran yang dibimbingkan olehnya hingga menemui sebuah kodrat.

Bila terjadi kontaminasi penalaran akal melalui perhitungan logika, diarahkan secara bertahap sampai menemukan penyesuaian bahasa. Pertentangan penalaran dibiarkan berbenturan, namun kesepakatan-kesepakatan kebenaran dibisikkan secara kuat sehingga pertimbangan-pertimbangan yang tidak tepat atau salah dapat diarahkan. Demikian para waliyullah dibimbing.

Seorang wali berbeda dengan ulama. Terhadap wali bisikan itu lebih keras, melalui kalbu dan diteruskan kepada naluri dan penalaran. Sedangkan ulama dikuatkan melalui naluri. Melalui alur itu, kelapangan ilmu dan pendalaman penafsiran Al Quran maupun ajaran Islam itu disampaikan kepada umat manusia dan penjagaannya itu melalui jumhur ulama dan waliyullah.

Malaikat Jibril mengaitkan mereka di dalam satu himpunan aspirasi yang runtut, namun dilengkapi dengan seutas benang merah pernyataan kalam takdir dalam amanah Wahyu. Runtutan itu dibuatkan sedemikian rupa sehingga kalam yang mereka tulis itu saling beriring walaupun dengan cara yang berbeda dalam sistematika pembahasan dan bahasa.

Demi sebuah penjelasan, Allah itu memperkenankan Malaikat Jibril menyatakan itu dengan sistem rekat maupun lepas. Yang rekat melalui penjelasan terhadap esensi sebuah kata dan ayat sehingga esensi sebuah surat. Dari sebuah pembahasan, ia membahaskan suatu masalah melalui makna sebuah kata, kemudian sebuah ayat hingga sebuah surat di dalam Al Quran. Itulah penjelasan yang rekat.

Dia membiaskan penalaran seorang waliyullah mengikuti alur kata dari sebuah ayat masuk ke dalam pembahasan masalahnya dan kemudian mengajaknya menerawang untuk mengetahui masalah pembahasan itu melalui liputan keadaan yang demi penjelasannya melibatkan satu ayat maupun meliputi pembahasan satu surat sehingga dapat menjadi penjelasan yang meliputi sebuah keadaan maupun sebuah takdir yang sedang terjadi atau sebuah ketentuan yang ingin dibakukan.

Peranan Jibril terhadap penalaran umat manusia berkenaan dengan Ajaran Allah tak disampaikan secara langsung dan seketika, bilamana dia tak bertugas secara resmi. Sebagaimana dapat diumpamakan dia sedang cuti di antara sebuah takdir dengan takdir yang lainnya. Namun kelangsungan Wahyu tak terhenti melainkan dikoordinir menjadi kesepakatan fungsional para malaikat, khususnya Malaikat Raqib. Penunjukkan Allah terhadap seorang waliyullah atau menyampaikan Lailatul Qadar itu merupakan tugas rutin yang fakultatif untuknya. Peranan waliyullah menjaga Ajaran Allah diteruskan melalui penyematan Lailatul Qadar.

Berapa kepentingan kewahyuan, itu pun dapat menjadi ukuran. Seberapa besar peliputan masalah ataupun penjelasan yang ingin disampaikan, bila itu tak berada dalam sebuah ketentuan takdir yang menjadi tugas resminya, walaupun masalah itu berkenaan dengan masalah Kewahyuan dan Ajaran Allah, dia tak melibatkan diri secara sepenuhnya. Demikianlah masalah-masalah yang terkait dengan Kewahyuan dan Ajaran Allah itu tak selamanya bisa ditanggulangi secara langsung olehnya. Demikian itu disebutkannya sebagai sistem lepas. Maka demikian Kewahyuan itu tak selamanya dapat diselenggarakan dengan sistem rekat.

Seringkali terjadi kesenjangan di antara penafsiran-penafsiran. Karena keadaan itu dimobilisasikan melalui sistem lepas, dapat terjadi banyak interupsi-interupsi pemahaman. Satu sama lain membawakan pemahamannya masing-masing. Daripadanyalah keadaan sistem lepas itu dikukuhkan kembali melalui kodrat sebuah takdir.

Ketahanan manusia tak dapat dibakukan keadaannya. Kebahagiaan dan penderitaan sangat menentukan karakter dan sifat seseorang. Maka di dalam hal ini, malaikat menyertai manusia untuk membantu menguatkan karakter dan sifat-sifat baik manusia. Namun kondusif kemalaikatan dan kemanusiaan berjalan sesuai dengan alur sunatullah-nya.

Peranan malaikat kepada manusia, iblis kepada manusia, itu selaras, menjadikan umat manusia mengikuti alur kehidupan di antara keduanya, sehingga menempatkan manusia menempuh berbagai stimulasi kehidupan gaib yang fatamorgana namun mutlak di dalam metafora dan kekekalan Al Khaliq dan di dalam kehidupan kenyataan yang fakta yang bermetamorfosa karena tidak kekal. Perbaikan maupun kerusakan, kejahatan maupun kebaikan dengan dampak maupun hasilnya masing-masing. Demikianlah dia meluruh ke dalam wejangan-wejangan dan visualisasi penalaran para cendekiawan dan ulama. Secara tidak langsung, Malaikat Raqib menyampaikan kepada mereka dan membahaskan suatu masalah melalui ilham dan penalarannya. Demikianlah Wahyu itu tersampaikan kepada mereka.

Bagaimana Keadilan Allah itu diperbandingkan? Seluruh umat manusia itu adalah makhluk Allah, yang beriman kepada Allah maupun yang tak beriman kepada Allah. Bagaimanakah Ketentuan Allah terhadap kekasyafan seseorang terhadap peranan ilmu pengetahuan, apakah itu juga berupa wahyu? Semacam Einstein ataupun Galileo Galilei, maupun James Watt, Keppler, Newton, mereka itu penerima ilham. Peranan para tokoh ilmu merupakan penerima ilham yang diwahyukan Allah kepada malaikat sebagaimana malaikat menyatukan dirinya dengan ilmu itu dan mengaitkannya ke penalaran seseorang.

Bila Allah ingin dijumpai seseorang melalui ilmunya, malaikat menyatukan diri dengan diri orang tersebut dan mengikat seluruh fungsi penalaran menuju suatu titik fokus ilmu dan menjaring keleluasaan data sambil menginformasikan sirkulasi hakikat penemuan ilmunya dan berusaha menyambungkannya dengan ordonansi dalil dari serikat keilmuan sehingga kebakuan dalil penemuannya itu dapat dibenahi secara global dan dapat dipatenkan.

Hal itu tak disebutkan sebagai Wahyu, namun ilmu itu diwahyukan Allah kepadanya, sebagaimana pengakuan Jibril kepadaku. Tidaklah umat manusia sampai pada ilmu pengetahuan yang tinggi bila kepadanya tak dibisikkan Wahyu ilmu itu. Bagaimana Galileo Galilei menguasai ilmu perbintangan dengan masyarakat yang masih terbatas pengetahuan ipteknya. Di zamannya bahkan belum ditemukan satelit dan teleskop NASA. Bisakah dia terbang menyusuri langit dan menghitungnya?

Sebagaimana ilham pun turun kepada para pemimpin dunia. Adakah dunia itu tak ingin dijaga kemaslahatannya? Adakah kesenjangan-kesenjangan itu akan dibiarkan Allah? Para pemimpin dunia tidak disebutkan sebagai penerima Wahyu seperti para Nabi, tapi kemampuannya memimpin, kemampuannya menggugah visinya menempatkan kesadaran logikanya dan ilmunya menjadi sumber daya kemampuan kepemimpinannya. Secara nalar ilmu dan kecerdasannya menghadirkan kehebatan visi yang menjadikannya unggul di dalam kepemimpinannya.

Adapun sesungguhnya Penjagaan Allah terhadap kemaslahatan kehidupan umat manusia menempatkan ruh malaikat menyanggupkan visinya itu sehingga dapat melihat ide-ide cemerlang yang dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi keselamatan umat manusia. Penalaran dan visi manusia terkait sangat rekat dengan malaikat. Demikian sunnatullah terhadap penjagaannya terhadap manusia, khususnya terhadap pemimpin yang bertugas menjaga kemaslahatan umat manusia. Penalaran para pemimpin itu diarahkan untuk melihat obyektifitas permasalahan dan menyambungkan pada konjungsi permasalahan itu sampai kepada kemudaratan yang terlihat maupun sebagai dampak yang dimungkinkan terjadi. Maka masalah-masalah itu pun akan dibenahi oleh kewenangannya. Maka pemimpin-pemimpin dunia itu pun larut dalam kehendak Allah. Inspirasi dan aspirasinya disertai malaikat.

Dan padanannya bagi pemimpin dunia yang kebijakannya membahayakan umat itu pun tak lain dari usaha iblis yang akan meniadakan kesejahteraan dan kedamaian. Adakah pemimpin dunia itu sebagai person-person yang menerima ilham dari Allah melalui malaikat? Bila pada kenyataannya memang demikian sunnatullahnya, maka demikianlah Sunnah Allah terhadap penjagaannya kepada umat manusia dan sistem komunikasi antara Allah dan malaikat kepada manusia.

Maka pernyataan kenyataan ini, tak pernah dapat dilepaskan dari kewahyuan. Demikian fungsi Malaikat Jibril terus berkesinambungan membawakan Wahyu-wahyu Allah setelah masa kenabian Nabi Muhammad.

Kita seringkali menyangka Wahyu itu hanya Wahyu untuk kitab suci, sedangkan Malaikat Jibril menyatakan kepadaku bahwa Kewahyuan itu meliputi segala hal. Bila Allah memerintahkan menyatakan sesuatu kepada umat manusia, itu tentulah melalui Wahyu. Maka Malaikat Jibril itu selamanya selalu sibuk mengurusi umat manusia. Mana mungkin setelah Nabi Muhammad, dia pensiun, sedangkan kehidupan masih bergulir? Mana mungkin Allah tak membantu manusia secara langsung setelah kenabian itu ditutup oleh Nabi Muhammad?

Doktrin kenabian itu memang telah ditutup, berakhir pada Nabi Muhammad dengan tujuan agar umat manusia menjaga Al Quran dan Islam itu tetap utuh dan sempurna. Diperhitungkan pada masa kemudian umat manusia itu mulai cenderung kepada sistem yang lain yang lebih dapat mengikrarkan keyakinannya berdasarkan pembakuan kenyataan yang disimak melalui liputan akronim pengetahuannya, menentukan sendiri dalil-dalil yang kemudian dipertentangkannya terhadap Ayat-ayat Allah yang tersurat, sedangkan kajiannya tak meliputi kaidah kemurnian hasil pemikiran. Penghayatan atas ayat-ayat kitab suci telah terfokuskan kepada ketentuan penafsiran yang sempat terbakukan melalui kesepakatan jumhur ulama yang masih belum meliputi seluruh hakikat ilmu penafsiran. Masih ada yang membatasi keleluasaan pemahaman terutama yang berkaitan dengan tata krama bahasa.

Betapa aku tak memahami kaidah bahasa Arab sepotong pun. Namun aku diajak melihat bahwa ternyata kaidah tata bahasa Arab itu tertulis dengan kelapangan makna yang sangat luas jangkauannya. Pembatasan penafsiran telah menjadikan ruang gerak jangkauan Al Quran menjadi sempit dan kaku. Betapa Malaikat Jibril mengajakku melihat Al Quran itu, ternyata up to date untuk sepanjang zaman. Dia memperlihatkan kepadaku fleksibilitas dan kemoderatan Wahyu-wahyu yang dikandung oleh Al Quran.

Betapapun Al Quran dan syariat Islam itu membahaskan rahmatan lil alamin. Betapapun waktu telah menjadikan Al Quran dan Islam itu kemudian menjadi kebenaran yang membentak dan egosentris, telah menjadi kebenaran yang memprihatinkan karena suka membentak dan sewenang-wenang menuduh kafir dan murtad. Al Quran yang sempurna dan Islam yang menjadi agama terakhir, dan Nabi Muhammad yang dinyatakan sebagai Nabi terakhir, telah membuat umat Islam merasa sebagai pemilik kedaulatan kebenaran. Maka tak ada kebenaran dari agama yang lain.

Sudah lupakah bahwa Jibril itu telah membawa Wahyu kepada empat Nabi dengan empat macam Ajaran Allah? Lupakah bahwa Allah selalu menjadikan segala hal itu bermacam-macam? Namun tetap memberikan pilihan dan jalan kebenaran dan keselamatan dengan ajaran dan perangkat kitab suci yang berbeda. Lupakah bahwasanya Allah itu telah menetapkan wilayah bumi ini sebagai wilayah kehidupan manusia yang bergolong-golongan dan berbangsa-bangsa dan beragam keyakinannya.

Ada empat ajaran samawi, Ajaran Allah, dan sungguh banyak agama dan kepercayaan yang lainnya. Bilakah Allah itu terlihat Kemahasempurnaan-Nya dan Kemahapengayoman-Nya?

Dari manakah keadilan itu? Ialah melalui pertimbangan-pertimbangan di antara perbedaan, melalui diskusi, persaingan, persengketaan, permusuhan dan peperangan. Bilakah keadilan dapat diutarakan? Ialah melalui peradilan dan kemufakatan atas keadilan. Demikian Keadilan Allah itu diajarkan melalui agama-agama Allah itu dan melalui pilihan, pengamatan, dan penghayatan terhadap keyakinan umat manusia kepada keempat Ajaran Allah itu.

Betapa keempat ajaran itu semuanya Tauhid. Namun ada perbedaan dalam syariatnya. demikianlah bahasa Wahyu itu pun berbeda kategori, namun esensi Wahyu itu tetap sama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan hanya menyembah Allah, dan jangan menjamah dosa. Demikian Wahyu-wahyu itu kini akan direkatkan dengan perekat rahmatan lil alamin yang akan dituturkan oleh Malaikat Jibril. Demi menyatukan seluruh umat Allah dalam rahmatan lil ‘alamin, dia mengajarkan keselamatan dari Allah kepada seluruh umat manusia. Bahkan juga terhadap orang-orang yang tak menyatakan keyakinannya kepada agama Ajaran Allah itu. Melalui rahmatan lil alamin di dalam penjabaran mutasyabihat rahasia Allah, Malaikat Jibril mengupayakan penjabaran rahmatan lil alamin itu kepada seluruh umat manusia, apa pun agamanya. Demikian keselamatan dari Allah itu ditujukan kepada seluruh umat manusia. Subhanallah, demikianlah Kemahapengasihan dan Kemahapenyayangan Allah itu.

 Bilakah pengkajian dalil-dalilnya lebih berdasarkan penghujung kajian sepihak, hanya mempunyai kelayakan optimisme, tak melalui pendalaman kemurnian kaidah. Ataupun diskusi-diskusi kajian itu lebih diwarnai oleh keegoan ilmu atau hanya sekedar pengingkaran seorang agnostik ataupun atheis yang selalu berusaha menggoyahkan kitab suci. Sanggahan itu dapat berasal dari agnostik atau sekularisme atau dari penghayat iman yang tak lapang hati.

Ketentuan Allah terhadap pembedaan dalam empat Kitab Suci-Nya, dapat menimbulkan kesenjangan penafsiran dari perbedaan bahasa dan syariat peribadatan. Maka di dalam pilihan keyakinan, umat manusia dapat terpilah-pilah. Belum lagi dari penafsiran-penafsiran yang berkaitan satu sama lain, dapatlah menjangkitkan keinginan merubah keyakinan. Keadaan ini selalu terjadi dari zaman ke zaman. Maka mempertentangkan kaidah kitab suci itu sudah dipersiapkan Allah melalui penetapan pengakhiran kenabian pada Nabi Muhammad dan pernyataan Al Quran dan Islam itu telah sempurna. Perjalanan kenabian sengaja diutarakan telah berakhir sebagaimana telah ditentukan, sebab pengaruh seorang nabi itu selalu sangat didambakan oleh orang-orang yang ingin diagungkan dan berkuasa.

Sifat umat manusia itu selalu berupaya mencapai segala keinginannya. Maka maklumat Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir itu sebagai pembatas bagi mereka yang mendambakan kenabian karena bila itu tak disebutkan tentu telah sangat banyak orang yang mengaku sebagai nabi. Pengurus sebuah sekte dapat menyebutkan dirinya sebagai nabi. Dan ketentuan itu telah memutlakkan sebuah kemufakatan sehingga terjagalah kelanggengan Ajaran Islam dan Al Quran itu.

Pada kenyataannya, sifat manusia itu selalu ingin mengendalikan dan menginginkan perubahan. Ketaklidan terhadap ketentuan itu bersisian dengan kecenderungan umat manusia menjadi nabi. Di antara perserikatan-perserikatan terhadap Ajaran Allah, telah pula ditentukan hari kiamat. Suatu kebinasaan yang meruntuhkan segala kebaikan. Suatu kerusakan yang menghancurleburkan seluruh kaidah kebenaran. Berarti pada masa itu seluruh umat manusia dipastikan hancur dan binasa. Bagaimana menyelamatkannya?

Adakah Allah membiarkan umat manusia itu binasa di dalam kehancuran moral dan iman pula? Lalu mengapa Allah menciptakan kehidupan manusia itu, bila pada akhirnya itu ternyata hanya sampai pada kemusnahan total seperti itu? Bukankah wahana ruh itu harus diselamatkan, siapa yang menyelamatkan? Seorang nabi? Nabi sudah berakhir.

Tetapi peranan penjagaan Ajaran Allah dan isi Al Quran selanjutnya menjadi tugas Jibril. Sebagai penjagaannya diwahyukan kepada para aulia dan para waliyullah. Dan semacam gudang penyimpanan hakikat Islam, Allah menyimpankan hakikat kesempurnaan Al Quran itu di dalam ayat-ayat mutasyabihatnya. Tidaklah Allah menyimpan mutasyabihat tersebut selama-lamanya. Adakah Rahasia Allah akan tetap menjadi Rahasia Allah selama-lamanya? Maka tak juntrung untuk apa Rahasia Allah itu. Tidaklah Allah akan membuat sesuatu itu melayang tak dapat disimak logika penalaran.

Penjelasan tentang mutasyabihat ini tak dapat tidak, harus melalui sebuah takdir Ketentuan Allah dan harus bersama Malaikat Jibril. Karena siapakah yang dapat menjaminkan bila bukan dari sebuah ketentuan takdir Allah? Dan yang menjamin penyampaiannya adalah Malaikat Jibril. Betapa kemaslahatan umat manusia itu dipentingkan Allah. Sehingga setiap saat Allah mempunyai kurun jadwal terhadap Ajaran-Nya. Sehingga pada setiap ketentuan sebuah jadwal, ada pelepasan peringatan maupun janji dan ketentuan Keputusan Allah.

Di dalam setiap jadwal, sebelumnya selalu ada kampanye persiapan kedatangan takdir itu berupa nubuah-nubuah dan hadits yang bernubuah, serta perlawatan aspirasi nubuah yang telah dibakukan sampai menjadi kenyataan dan kemudian disusul dengan pernyataan-pernyataan telah hadirnya takdir itu. Pernyataan-pernyataan ini diketengahkan oleh alam maupun oleh gejala metafisis hingga berbagai kompromi pernyataan metateologis dari berbagai aspek penjabaran, hingga sampai pada datangnya Pernyataan-pernyataan Allah itu. Demikianlah Malaikat Jibril mencoba mengiaskan kepadaku Sistem Allah kepada Kewahyuan serta ketentuan sebuah Takdir-Nya.

Pengingkaran terhadap Allah seiring dengan sekulerisme iptek. Umpamanya zaman teknologi semacam ini tentu ada orang yang ingin melihat tempat Tuhan melalui teknologi, ingin melihat bagaimana Cara Kerja Tuhan, bagaimana umat manusia kini telah mencoba membuat transplantasi organ sintetis, pengobatan operasi melalui sinar laser dan perekayasaan fisika dan teknologi telah mampu menemukan sebab dan akibat kosmis dan pengakhiran kosmis di balik tabir Black Hole.

Maka Jibril tentulah dapat menyatakan Kekuasaan Allah itu melalui ilmu dan teknologi agar Kitab Suci Allah itu tak hanya memerankan pensucian, melainkan pula membahaskan Kemahapandaian Allah, betapapun aku ini tak pandai. Wallahu a’lam bissawab. Tapi itulah amanah itu, dan itulah Janji Allah yang harus kusampaikan.

Manusia di akhir zaman sudah terlalu pandai, telah semakin meningkat tantangan nalarnya. Ketersediaan kata-kata di dalam kitab suci tak berkembang kecuali melalui makna yang tersirat dan di dalam kalimat mutasyabihat. Makna di dalam ayat-ayat yang tersirat (ayat-ayat dzonni) dan mutasyabihat, siapa yang bisa menjelaskannya, tentulah hanya Jibril yang bisa menjelaskannya.

Maka dengan ini kami mengetengahkan jawaban ini untuk menjawab pernyataan MUI pada dalil yang diutarakan pada nomor 3, bahwa malaikat adalah makhluk gaib yang tidak dapat diketahui manusia melalui idrak basyari (intelek manusia). Mereka hanya dapat diketahui melalui pemberitaan valid (alkhabar as-shadiq) dari Allah Subhaanahu wa Taaala yaitu keterangan yang terdapat dalam Al Quran. Dengan kata lain pengetahuan tentang malaikat haruslah berdasarkan Wahyu. Maka jelaslah semua yang kami terima ini berdasarkan Wahyu dari Allah.

Maka sesungguhnya pernyataan ini telah dibakukan di dalam Al Quran di dalam ayat-ayat yang tertera di bawah ini.

 Kitab Suci Al Quran Surat An Nahl ayat 101-103:

  1. “Dan apabila Kami ganti satu ayat menempati ayat yang lain sedang Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya engkau mengada-ada”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui”.
  2. “Katakanlah: “Yang menurunkannya adalah Ruhul Qudus (Jibril) dari Tuhanmu dengan benar, supaya meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.
  3. “Dan sungguh Kami mengetahui sesungguhnya mereka berkata: “bahwa yang mengajarkan kepadanya adalah manusia”. Bahasa orang yang mereka cenderung kepadanya adalah bahasa Ajam, sedang Al Quran ini di dalam bahasa Arab yang terang”.

Ayat-ayat ini pun untuk menjawab pernyataan MUI, bahwa Jibril tak dimungkinkan turun kembali dan pengetahuan tentang malaikat haruslah berdasarkan Wahyu. Ayat-ayat ini pun menjadi dalil argumen untuk penjelasan Malaikat Jibril kepadaku tentang ayat-ayat mutasyabihat itu. Dapatkah diterima bila dikatakan bahwa kalimat “dan apabila kami ganti satu ayat menempati ayat yang lain, sedangkan Allah lebih mengetahui yang diturunkan-Nya” dan kalimat “Bahasa orang yang mereka cenderung kepadanya adalah bahasa ajam sedang Al Quran ini di dalam bahasa Arab yang terang”, tersebut ini dapat pula diakurkan melalui keadaan penjelasan makna ayat-ayat mutasyabihat oleh Jibril, melalui kalimat-kalimatnya di dalam bahasa Indonesia?

Penafsiran ini memang penafsiran revolusioner. Akan tetapi dapatkah penafsiran revolusioner semacam ini dimungkinkan keadaannya oleh suatu persamaan maupun penyesuaian yang sangat mirip dan keadaan itu pun terlihat polos? Mampukah aku menyama-nyamakan keadaan itu? Bagaimana aku menyulap penjelasan-penjelasan itu dan bagaimana aku melihat kesamaan itu dengan ayat-ayat itu? Sungguh anonim penjelasan-penjelasan itu. Begitu pula yang menunjukkan ayat-ayat itu.

Dari mana aku mendapatkannya, sedangkan aku tak memiliki kalimat-kalimat atau pengetahuan itu? Maka janganlah menjadikan ini argumenku, kalau mau melihat itu. Bila mau syak wasangka, bahwa itu adalah wangsit entah dari siapa, biar kupenuhi beribu-ribu lembaran kertas dengan tulisan, tak akan pernah sampai kita pada suatu kesimpulan pada pintu Wahyu Allah.

Nah, sampai di sini pun kita tak pernah bisa membahaskan apa-apa kecuali pertentangan. Maka karena itu, biarkanlah aku dengan pemikiran revolusionerku ini, sampai aku menemukan muaranya. Bukankah kita ini bebas berekspresi? Orang boleh bebas menentang Allah, maka aku pun tentunya boleh menempatkan otoritas penalaran ilhamku untuk membuktikan Kekuasaan Allah.

Bagaimana sesungguhnya peranan Malaikat Jibril dan sistem komunikasinya? Di dalam buku ini dijelaskan seluruh sistem komunikasinya dan peranannya. Dan jelaslah bahwa peranannya padaku ternyata itu suatu urusan yang besar dan akbar. Mengapa itu tak bisa dipercaya bila aku menyatakan diriku bahwa aku mampu membuktikannya? Aku akan membuktikan kehadiran Jibril kepadaku dengan menuliskan segala penjelasannya kepadaku. Biarlah umat yang mengkajinya, biarlah waktu yang membuktikannya. Bila ternyata kemudian aku berhenti, tidak lagi bisa menjelaskan keadaan ini dan tak dapat membuktikan syafaat dan Karamah Allah serta Berkah Allah yang dibawanya, barulah menyatakan aku sesat dan telah menyesatkan umat.

Produk MUI atas fatwanya ini telah membuatku dikucilkan oleh masyarakat, oleh seluruh bangsaku. Di mana-mana aku dicibirkan dan dianggap berbahaya. Di mana-mana tulisanku dicampakkan bahkan disobek dan dibakar. Mengapa tak dibaca terlebih dahulu dan disimak isinya, adakah kata-kataku yang menyesatkan, apakah aku tidak menuliskan kebenaran?

Aku itu diperintahkan untuk memerangi dajjal atau Lucifer. Aku juga diminta untuk menghentikan kobaran peperangan. Aku diminta untuk memulihkan kondisi alam. Dan aku diperintahkan Allah untuk menyalami semua umat beragama, menyatukan di dalam Berkah Allah agar jiwa dan ruh umat manusia itu banyak yang dapat diselamatkan saat menjelang kiamat ini. Maka, manakah tulisanku itu yang buruk dan menyesatkan?

Namun, aku ini sedang berusaha menyampaikan penjelasan-penjelasan yang diamanahkan Allah kepadaku. Perahu Istighotsah yang dibawa turun Jibril itu bukan hanya untukku tapi untuk semua orang. Perahu Istighotsah itu bukan semacam perahu yang akan berlabuh dan kemudian mengangkatku naik, melainkan keselamatan iman. Bagaimana sebenarnya keselamatan iman, itulah yang sedang dituturkannya kepada kita.

Janganlah mengujiku dengan dalil-dalil yang tak seusai, sebagaimana MUI mengajukan dalil dalam klausul-klausul yang tercantum dalam nomor 5, dan 9. Dalam klausul 5 maupun klausul 9 itu sangat ganjil bila itu dibahaskan sebagai dalil karena tak mengena.

Sungguh jauh peranan Malaikat Jibril maupun peranan hadits itu. Mengapa masalah anjing dan patung, makan bawang putih dan bawang merah, disebutkan sebagai dalil yang dipertimbangkan? Mengapa dengan orang yang makan bawang putih dan bawang merah? Dan ada apa dengan gambar dan anjing, apakah maksudnya? Karena kami ini makan bawang putih dan bawang merah, adakah orang yang makan bawang putih dan bawang merah itu tak bisa didekati oleh malaikat? Berarti seluruh manusia tak bisa didekati oleh malaikat? Semua orang juga makan bawang putih dan bawang merah. Terus bagaimana fungsi malaikat itu menurut pandangan MUI, bila tak dipatutkan manusia memakan bawang putih dan bawang merah? Ke manakah Malaikat Raqib dan Atid?

Bagaimana Allah menghadirkan kesucian dan bagaimana umat manusia melayangkan doa kepada Allah, bila malaikat itu tak berani mendekat karena ada bawang putih dan bawang merah di dalam setiap rumah? Mengapa pula Allah menumbuhkan tanaman bawang merah dan bawang putih itu dan dijadikan sedap bila dijadikan bumbu masakan? Manakah Perintah Allah yang melarang memakan bawang merah dan bawang putih. Haramkah itu? Malaikat itu hanya tak suka menjejakkan dirinya pada apa-apa yang diharamkan.

Dan mengapa pula masalah gambar anjing? Aku tak mempunyai gambar anjing, aku pun tak mempunyai anjing. Namun binatang itu memang najis tapi tak disesuaikan untuk dilayangkan sebagai dalil untukku. Adakah itu dimaksud karena saya menyimpan foto-foto keluargaku, adakah itu diharamkan? Sesungguhnya yang diharamkan itu adalah gambar Tuhan, atau gambar yang disembah, karena Allah tak bisa dideskripsikan melalui gambar.

Allah dihadirkan melalui keyakinan batin dan diharamkan menghadirkannya melalui gambar. Dan dalil ini pun sangat jauh bila itu ditujukan untuk mendakwaku karena aku memiliki foto-fotoku sendiri dan keluargaku. Ajaran Allah itu tak dapat dipahami dengan sempit. Allah-lah yang mendatangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Foto-foto itu sarana dokumentasi. Selama itu bukan untuk pemujaan, foto-foto itu tak diharamkan. Maka dalil itu pun sepertinya melayang dan tak jelas untuk apa.

Menjawab dalil yang disebutkan pada 5a, bahwa di dalam kesucian malaikat, tidak dimungkinkan malaikat itu bercanda, berdebat, dan sebagainya. Dan disebutkan ini adalah sebagai dalalah iltizam dengan menyebutkan “Mereka (malaikat) selalu bertasbih (beribadah kepada Allah) pada waktu malam dan siang hari tiada henti-hentinya” (Kitab Suci Al Quran Surat Al Anbiyaa ayat 20). Shalatnya malaikat adalah bertasbih siang dan malam, namun di dalam melaksanakan tugasnya dapatlah disebutkan, bahwa malaikat itu adalah makhluk Allah yang berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan sistem komunikasi itu pun sesuai dengan sistem komunikasi malaikat.

Sedangkan bagaimana sistem komunikasi malaikat dengan manusia? Dapatkah dikurangi, bila sesungguhnya bercanda itu adalah suatu komunikasi yang dapat mengurangi stres ataupun penderitaan? Dalam berkomunikasi dengan umat manusia, tak disebutkan format komunikasi itu. Adapun sarana yang dipergunakan Malaikat Jibril dengan kami saat ini dengan membumbui komunikasi itu dengan canda. Selama canda itu mampu membahagiakan kami dan mampu mengingatkan dan mendatangkan kesucian, apakah itu terlarang? Manakah dalil yang pernah menyebutkan format yang seharusnya bagi komunikasi antara malaikat dan manusia? Tidaklah ada sebuah ayat yang telah menyebutkan kedudukan komunikasi itu. Malaikat Jibril dinyatakan telah menetap di bumi ini dalam kurun waktu selama usia takdir ini. Dia menjadi guru kami dan pengayom kami. Bila dia menetapkan sistem komunikasinya itu termasuk di antaranya adalah humor, adakah itu diharamkan? Kestabilan kesucian disikapi olehnya dengan berbagai sistem komunikasi.

Perintah Allah dapat dilaksanakan melalui penyesuaian frekuensi dan habitat. Peranan Malaikat Jibril tak bisa dibatasi dengan anggapan dan asumsi. Malaikat Jibril memang suci dan hanya takut kepada Allah dan melaksanakan hanya apa yang diperintahkan padanya, seperti yang disebutkan pada yang tercantum pada klausul 5 b dan c yang menyertakan ayat-ayat An Nahl 50 dan Al Anbiyaa ayat 26-28.

Adakah patut canda itu bagi seorang malaikat, kalau itu bermakna dan bertujuan untuk menyelesaikan urusan dan demi keseimbangan serta padanan komunikasinya dengan umat manusia? Dan percandaan itu pun bila dapat mengasyikkan dan membahagiakan umat manusia sehingga menyukai pelajaran-pelajaran yang disampaikannya, sehingga umat manusia itu menjadi dekat dengannya dan selalu ingin bersamanya, yang berarti selalu haus dengan ajaran-ajaran yang disampaikannya. Maka itu adalah daya pemikat yang diadakan olehnya agar umat manusia berbondong-bondong menyimak ucapan-ucapannya.

Inilah zaman pengendalian yang tak mudah. Doktrin-doktrin dan dogma keagamaan itu telah tertulis baku dalam kitab suci. Bagaimana dia mematutkan itu supaya umat manusia mau mendengarkannya dengan mudah dan mengasyikkan, sedangkan umat manusia masa kini telah rentan imannya, telah longgar akhlaknya, telah berkarat moralnya.

Umat manusia masa kini cenderung untuk dihibur. Hiburan masa kini tak alang kepalang banyaknya dan mengasyikannya. Bagaimana caranya untuk membuat umat manusia itu mau menengok kepadanya? Sistemnya ini tidaklah bertentangan dengan kepatuhannya kepada Allah. Dia bercanda dengan kata-kata yang bersih hanya mengulik kata-kata sambil mengarahkan keadaan yang ingin dicapainya dan yang ingin disampaikannya. Malaikat bercanda memang baru dikemukakan sekarang ini, mungkin baru olehku seorang. Namun sistematika Jibril saat dia turun menjadi Rasul sekarang ini ternyata disesuaikan dengan kehendak zaman. Zaman yang serba berat dan sulit ini ingin diurainya melalui penyampaian yang lebih ringan.

Mau dipercaya atau tidak, namun kami melihat sistemnya ini sungguh sangat mengena dan afdhal dan dampaknya memang lebih efisien. Kami menjadi selalu rindu dengan candanya dan nasihatnya, sehingga murid-muridnya itu kemudian terlarut dengan ajaran-ajarannya. Kami seakan-akan terbius oleh kenikmatan ajarannya. Tanpa terasa kami menurutkan segala yang diajarkannya, kami pun mau disucikan olehnya walaupun dengan cara yang keras. Dan rasanya candanya itulah yang menahan kita dari kepedihan dan tangisan karena ujian-ujiannya. Mungkinkah kita ini mau diuji dengan berat bila tak ada sesuatu yang mengikat dengannya?

Sistem Jibril saat ini tak menarik bila didiskusikan, karena kami ini bisa dianggap merubah kaidah. Tapi cobalah melihat esensi ajarannya, adakah yang berubah? Dia itu sebenarnya hanya merubah resep penyajiannya demi kelangsungan dan kemudahannya menjernihkan iman umat manusia.

Umat manusia zaman sekarang tidak ekspresif di dalam menanggapi kerohanian. Banyak yang cuek dan merasa sudah tinggi ilmunya. Dia datang dengan ketinggian ilmunya, namun dia lebih suka melarutkan diri di dalam keawaman yang low profile ataukah kebodohan yang sedang diasah olehnya. Di dalam kesenjangan pemahaman kami ini dituntun olehnya dengan senda guraunya, tampil seadanya, namun menapak di atas kekukuhan dan kesucian Ajaran Allah. Semoga penjelasanku tentang tabiat Jibril yang belum pernah diutarakan orang ini tidak menimbulkan kontroversial yang tajam di masyarakat.

Sungguh mengenali Jibril ini pun aku tak seorang diri. Ada Jamaah Salamullah yang juga dekat dengannya. Sistem atau tabiat Jibril ini telah mengukuhkan kami di dalam ajaran-ajarannya yang suci dan yang sangat berat bagi kami. Karena, bukankah kami ini semua adalah orang-orang yang berdosa dan hidup dalam sistem yang penuh dosa dan yang sungguh sangat musykil menjernihkan iman dan bersumpah menjauhi dosa di dalam sistem yang seperti ini?

Tunggulah sampai Anda melihat bagaimana dia menanggulangi dosa-dosa kami itu dan menjadikan kami betah dan berani menyatakan tak ingin menjamah dosa lagi. Keadaannya dan keadaan kami telah menyatu. Kami bersamanya sepanjang hari. Kami taklid kepadanya, karena ketaklidan kami itu diarahkan dan ditujukan semata-mata kepada Allah.

Mengapa Ilmu Allah ingin dikaji dengan cuplikan-cuplikan penafsiran sebuah dalil? Mengapa tak mau melihat secara keseluruhan anggapan yang dikandung oleh sebuah peristiwa ataupun penjelasan keadaan? Mengapa ayat At Tahrim 16, yang menyatakan bahwa malaikat selalu tunduk dan patuh pada Perintah Allah, dijadikan penanggulangan asumsi keberadaan nama Habib Al Huda sebelum pengakuannya sebagai Malaikat Jibril, telah dianggap sebagai pengingkaran sifat malaikat oleh karena kebohongan itu? Kebohongankah itu? Padahal nama Habib Al Huda itu, bila diterjemahkan berarti “Kekasih yang Memberi Petunjuk”. Makna nama itu saja tak menyalahi julukan Jibril. Bukti sebagai Jibril adalah malaikat yang dikasihi Allah dan yang membawa Petunjuk Allah. Sesungguhnya itu adalah penjabaran eksistensi dirinya melalui sebuah nama yang disamarkan.

Disamarkan namanya karena dianggap belum waktunya mengemukakan jati dirinya. Sebelum disanggupkan memberitahukan keadaan takdir yang sebenarnya, dia merasa masih perlu membekaliku dengan berbagai pelajaran maupun pensucian melalui ujian-ujiannya. Terlebih dahulu aku harus mampu meningkatkan keimananku dan memperjelas kesucian. Sebelum ditempa, manalah aku ini akan kuat menerima segala berita, yang mana berita itu tak pernah tanggung beratnya untuk disampaikan. Manalah aku ini bisa mempunyai keberanian menjalankan takdir ini, bila aku belum melihat dan merasakan kesaksian-kesaksian yang dapat meyakinkan kebenaran akan Takdir ini, sedangkan itu semua memerlukan waktu.

Perjanjian maupun Janji-janji Allah tak dapat dicurahkan tanpa suatu tindakan lanjut yang menyikapi ujian-ujian keimanan. Menyikapi tindak lanjut ujian, selamanya memerlukan suatu ketahanan iman. Tidaklah dapat menemukan perisai diri bila tidak melalui ujian yang berat. Kumpulan ujian-ujian itu telah pula menumpuk pelajaran-pelajaran yang berharga yang dapat disimak dan direkam sebagai bekal. Hikmah-hikmah yang bertaburan telah menambahkan daya ketahanan. Sedangkan penderitaan yang dialami telah pula menjadikan jera, sehingga penanggulangan apa pun tak akan pernah melibatkan kesalahan seperti itu lagi. Perbaikan kualitas iman dan kesucian juga sangat terkait dengan limpahan Berkah Allah untuk kami sebagai bekal menjalankan Amanah Allah ini. Kesucian yang murni juga menjadi sarana dan kemudahan bagi kami dalam menjunjung Takdir Allah ini. Demikian cara dia memperbaiki kualitas.

Maka tenggang waktu untuk pengujian itu pun telah membuatnya mempergunakan identitas Habib Al Huda. Keadaan itu menjadikannya harus menunda menyebutkan jati dirinya sebagai Jibril. Hal itu telah membuat ada anggapan dia telah berbohong, dan itu dianggap sebagai pengelabuan seorang makhluk gaib. Sedangkan saat itu, Habib Al Huda sudah banyak menuturkan banyak hal yang terekam di dalam tiga buku yang pula telah kami hadirkan sebagai pembuktian ajaran-ajarannya. Mengapa tak dilihat esensi ajarannya itu?

Adakah iblis mengajarkan demikian? Pengelabuan atau kebohongan, bila tak mengakibatkan dosa atau kesesatan, cobalah dijajaki peranan berita itu, cobalah menyelidiki lebih seksama sebelum menuntutkannya. Kemudian cobalah disimak penjelasan pada ketiga buku berikutnya setelah menyatakan diri sebagai Jibril. Adakah yang sesat dalam penulisan itu? Cobalah semeleh mencari kebenaran. Jangan suka memastikan kesesatan. Tak baik untuk dipanuti oleh generasi ke depan. Keegoan ilmu telah membutakan mata melihat kebenaran.

Masalah pengakuan Jibril sebelumnya sebagai Habib Al Huda jangan diartikan sebagai sebuah kebohongan. Janganlah pincang dalam menilai suatu kebohongan itu bila diliputi penjelasan-penjelasan kebenaran yang hakiki. Mengapa yang disoroti sebutan nama? Mengapa itu pun tak dicoba dimaknai melalui penjelasan arti dari nama itu? Bukankah arti nama itu sama dan seiring dengan habitat Malaikat Jibril? Pilihan nama Malaikat Jibril dengan menyebutkan Habib Al Huda sebetulnya ingin dinyatakan sebagai asbabun nuzul-nya peranan Jibril menjadi Rasul di bumi pada saat ini. Sebagai pembanding dari rumor Habib Al Huda yang dikemukakan sebagai jin pendamping Rasulullah Nabi Muhammad di dalam buku Dialog dengan Jin Muslim.

Siapakah Habib Al Huda yang disebutkan di dalam buku itu? Tak mengena penjelasan buku itu, karena manalah Allah menyertakan Nabi Muhammad dengan seorang jin? Untuk apa jin mendampingi Nabi Muhammad? Memangnya jin mampu memperbaiki keadaan melebihi kemampuan Nabi Muhammad? Nabi Muhammad itu seorang Rasul Allah yang terkemuka. Fungsi dan peranannya membawakan Sunnah Allah. Allah itu langsung menangani seluruh urusan Nabi Muhammad. Seorang Nabi itu tak mengandalkan jasa seorang jin.

Malaikat Jibril itu disertakan mukjizat kun fayakun Allah, demi meringankan keadaan nabi. Malaikat Jibril menyanggupkan hal apa pun untuk melapangkan jalan kehidupan nabi dan dalam pelaksanaan Amanah Allah yang dibawanya. Jangankan seorang nabi, peranan seorang ulama pun tak dibiarkan dicemari bisikan jin. Seorang ulama yang saleh dan murni syariatnya tak akan dapat didekati jin. Bahkan setiap orang yang beriman saja sekalipun, secara langsung akan selalu didekati oleh malaikat.

Jadi, sesungguhnya pemuatan tulisan tentang pengakuan seorang jin yang mengatakan dirinya sebagai pendamping Rasulullah bernama Habib Al Huda itu ingin ditepiskan oleh Malaikat Jibril. Sedangkan nama itu pun ingin dijadikan sarana penyamarannya. Keberadaan nama itu pun kelak akan bermuara pada sebuah penjelasan yang akan berlanjut. Nama Habib Al Huda itu rupanya digunakan untuknya, untuk memperjelas keadaan Nabi Muhammad, menjernihkan anggapan orang yang telah terlanjur mempercayai kisah itu. Demi meyakinkan umat manusia yang cenderung berkolusi dengan jin, buku itu dapat menjadi legitimasi menjajakan jin atau berilmu jin.

Di masyarakat kini banyak orang yang menghalalkan ilmu jin. Dipakainya alasan bahwa Nabi Sulaiman pun memelihara dan memerintah jin. Buku itu pun akan semakin memicu penghalalan bergaul dengan jin, sedangkan nama Nabi Muhammad pun kini sedang dipertaruhkan untuk penghalalan ilmu jin. Persantetan dan ilmu kebal dan segala ilmu sihir semakin mapan. Dapatkah ini dilihat sebagai kemungkaran dengan dalih peranan nabi yang dijadikan legitimasi?

Bayangkan Nabi Muhammad pun disebutkan didampingi oleh jin dan hal itu pun dibiarkan. Fatwa MUI tak menyentuh hal ini, padahal masalah itu adalah masalah yang mendasar, khususnya bagi pendidikan kemaslahatan iman umat. Bila telah dianggap Nabi Muhammad pun mempunyai khadam jin, jadilah sebagai landasan penghalalan jalan kemusyrikan. Buku itu telah berulang-ulang dicetak karena sangat laris. Maka bukuku ini ditujukan untuk meng-counter penulisan itu.

Nama Habib Al Huda menjadi perantara baginya untuk membahaskan pencemaran nama Nabi Muhammad tersebut. Sengaja Malaikat Jibril mengangkat nama itu demi penjelasannya untuk membantah penulisan itu. Tak ada jin yang mendampingi Nabi Muhammad. Segala urusan Rasulullah itu menjadi Urusan Allah langsung. Dapatkah dipahami, bahwa seorang nabi itu adalah Utusan Allah, perlukah bergantung lagi pada kemampuan seorang jin? Malaikat Jibril yang mendampingi Nabi Muhammad, tidaklah mungkin tak dapat meluruskan segala urusan Nabi Muhammad.

Jangan sekali-kali menggunakan kalimat itu lagi, karena pernyataan itu dapat menimbulkan tuduhan bahwa Allah tak dapat menjamin kemampuan Malaikat Jibril dan Allah telah mengkhianati Ajaran-Nya sendiri yang telah melarang manusia menggauli jin. Jadi, bila nabi dibicarakan tak sesuai, itulah perusakan akidah.

Makhluk gaib memang tak bisa dikenai hukum dan umat manusia suka mendengarkan berita gaib. Berita gaib yang berbohong tak bisa diselidiki. Tapi bila peranan nabi itu diutak-atik, selayaknyalah para ulama menghentikan peredaran buku itu dan menanggapinya untuk dimintakan pertanggungjawaban. Sungguh inilah penjelasan mengapa Malaikat Jibril sempat mengaku sebagai Habib Al Huda.

Malaikat Jibril yang sebagaimana disebutkan di dalam Kitab Suci Al Quran Surat At Takwir 19-23 dan Asy Syu’araa 194, sebagai dalil yang disebutkan dalam lembaran No. 6, bahwa Malaikat Jibril adalah “utusan yang mulia yang mempunyai kekuatan yang mempunyai kedudukan yang tinggi di Sisi Allah yang mempunyai arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.”

Tidaklah dapat dipungkiri memang Malaikat Jibril adalah malaikat yang dipercayai Allah dan mempunyai kedudukan yang tinggi di antara para malaikat. Malaikat Jibril sesuai dengan berbagai namanya yang agung itu memiliki banyak kewenangan dan banyak kemampuan. Dan di dalam kemampuannya itu adalah juga termasuk kewenangannya menyampaikan kun fayakun Allah yaitu mukjizat. Pernyataan Malaikat Jibril bahwa dia-lah makhluk ciptaan Allah yang paling sulung, dialah malaikat yang pertama diciptakan Allah sebagaimana Nabi Adam untuk manusia, jadilah dia Perintah Allah dan Tangan Allah.

Berapakah mukjizat yang ada padanya? Mampukah aku menempatkan diriku dengan menyebutkan namanya? Beranikah aku menyebutkan namanya, bila aku tak menerima Janji Allah? Beranikah aku menyatakan ini bila aku tak bersamanya? Umat akan menuntutku terhadap hal ini. Kalaupun ada yang dapat kubuktikan, mengapa itu tak dicoba untuk dilihat.

Aku ini tak berani menjaminkan kata-kata apa pun, namun aku telah berani menjamin menyatakan Jibril bersamaku. Maka, kesuciannya dan Kemahasucian Allah tentu ikut tersebutkan di dalam pernyataan itu. Aku tak mempunyai keberanian untuk takabur membuat suatu pernyataan yang berlebihan, namun satu hal yang tak ingin kupungkiri ialah Malaikat Jibril telah datang kepadaku dan dia menyatakan dia datang dengan segala kemampuannya.

Padaku tak ada jaminan dapat menyajikan kemukjizatan itu, namun dialah yang akan membahaskan itu kepada umat. Terus terang aku tak diwajibkan menyulanginya sebagai Rasul Allah di tengah keseharian komunikasi kami. Aku dan dia telah menjadi satu, sehingga dia tak berada di luar diriku. Bila dia berbicara seperti aku berbicara dengan hati nuraniku, bila aku berbuat maka aku sedang menjalankan kehendaknya. Aku tertimbun ataupun terlepas dari Rahmat Allah yang menyertainya, segalanya itu tergantung kepada keadaan imanku. Adapun dia Rasul, maka aku taklid padanya. Rasul Allah bukanlah teman dalam hidupku yang mengguruiku untuk sekedar, menyatakan betapa pentingnya Takdir Allah ini melainkan dia sungguh seorang Rasul Allah yang mumpuni kewenangannya. Maka aku pun menjadi bawahannya. Diriku terkoordinir meliputi seluruh fungsional dirinya sebab akulah yang memperagakan kehadirannya.

Mukjizat dan rahmat itu datang bila aku telah suci, dan berani berbuat apa pun untuk menempuhkan Amanah-amanah Allah yang sulit ini, atau mampu tak menjamah dosa lagi. Pelatihan mensucikan diri dapat memungkinkan aku semakin rekat dengan Rahmat Allah. Ujian-ujian yang diberikan olehnya adalah pensucian yang akan mengikatku ke dalam Takdir Allah ini. Pensucian itu tak hanya mengingatkanku untuk menjauhi dosa, tapi urgensi pertaubatan itu dinyatakannya melalui ujian yang mengganjarkanku bagaimana menyikapi pertaubatan itu dengan layak dan benar. Bagaimana caranya bertaubat, bagaimana caranya melakukan pengakuan dosa, bagaimana caranya memperoleh pengampunan. Pensucian itu sangat pelik dan berat, memerlukan kejujuran yang hakiki, sehakiki kesucian yang dipersyaratkan Allah untuk kami, yang mendapat petunjuk mengemban Amanah Allah ini. Sungguh Malaikat Jibril pun mengadili kami. Demikian Peradilan Allah dituangkan melalui pengajarannya kepada kami di Salamullah. Begitulah Sistem Allah melibatkanku dengannya.

Peranan malaikat telah jelas, yaitu kesucian. Malaikat Jibril di dalam kesehariannya bersamaku itu mengajariku banyak hal. Bagaimana dia mengajariku untuk tidak mendendam, bagaimana menyelesaikan masalah-masalah rumit dan berat menjadi ringan. Dia mengajariku bagaimana menguraikan masalah berat dengan tidak menimbulkan dampak stres.

Kepadaku diujikannya hal-hal yang sangat berat namun kemudian diperlihatkan pula olehnya bagaimana memulihkan keadaan itu, antara lain dengan menjadikan masalah itu menjadi objek humornya. Persoalan itu pun punah dan bahkan segalanya menjadi ringan dan pada akhirnya selesailah urusan itu, semuanya tak ada yang sakit hati dan semuanya lega.

Semua itu cara dia mengimplementasikan Ajaran Allah, menjadi suatu produk dan penerapannya. Kami semua menjadikan dia sebagai guru yang penuh senyum dan canda. Dari cara dia mengajarkan kami seperti itu, kami pun dapat larut dan menyerap ajaran-ajarannya itu dengan mudah dan sungguh kami sangat menikmati sistemnya itu.

Sedangkan menurut Jibril, terhadap dalil yang diajukan MUI pada nomor 7, disebutkan Jibril hanya bertugas menyampaikan Wahyu dari Allah dan dia tak diberi wewenang menjelaskan isi dan maksud Al Quran. Tugas menjelaskannya dibebankan kepada Nabi dan dirujukkan kepada surat An Nahl ayat 44.

Menurut Jibril, adakah satu pun Ayat Allah yang bukan disampaikan oleh Jibril? Dan adakah setiap ayat itu dapat dipahami bila tak dijelaskan maksudnya oleh Jibril kepada Nabi Muhammad? Bila yang dimaksudkan pada kalimat itu, bahwa yang berhak menjelaskan Al Quran hanya Nabi dan para ulama seperti yang dikutipkan pada An Nahl ayat 43, sehingga tak dipatutkan Jibril menjelaskan tentang Al Quran kepadaku. Mungkin ini bisa dipahami sebagai keinginan MUI untukku, agar tak bertanya kepada Jibril melainkan kepada ulama saja.

Bukankah aku telah mengajukan surat untuk dibina, mengapa aku tak dibina? Pertanyaan-pertanyaanku tak ada yang dijawab. Beberapa kali aku mengirimkan surat tak ada yang dijawab. Banyak surat yang telah kulayangkan ke MUI dan 18 edisi buletin kuajukan kepada MUI dan aku menunggu dimintai pertanggungjawaban atau ditanyai, bahkan aku sangat menginginkan diadakannya diskusi. Bukankah aku ini telah menjadi masalah MUI? Tetapi selain keputusan fatwa itu, tak ada urusan lagi untukku.

Kepada siapa Nabi Muhammad dulu itu berbincang-bincang tentang isi Al Quran? Bagaimanakah sebenarnya hakikat komunikasi malaikat dengan umat manusia? Ialah untuk menegaskan Perintah-perintah Allah dan Ajaran Allah. Mampukah manusia menyeberangi langit sampai kepada Arasy Allah setiap saat, sedangkan manusia tak diciptakan mempunyai kodrat gaib? Manusia dengan jasadnya terbataskan untuk melampaui wilayah gaib. Dan kodrat itu dinyatakan Allah untuk malaikat. Karena sesungguhnya malaikat-lah yang dapat menembus Arsy Allah setiap saat dan kemudian dapat menempuh berjuta-juta kilometer cahaya hingga sampai kepada kalbu manusia.

Nabi Muhammad adalah seorang manusia yang terpilih, pernah menjumpai Allah di Arsy Allah beberapa saat untuk meyakini kodratnya sebagai nabi. Takdirnya sebagai nabi menyempatkan beliau menempuh tujuh lapis langit untuk menemui Allah dan yang menemuinya adalah ruhnya. Alam akhirat adalah alam ruh, hanya dapat ditempuh melalui ruh. Maka di dalam penjelasan Jibril tentang Al Quran, justru itu adalah kewenangannya. Nabi Muhammad yang telah tiada, tak dapat mengunjungi umat manusia untuk mengingatkan umatnya agar mempertahankan kejernihan ajarannya. Untuk ini Malaikat Jibril-lah yang diutus Allah.

Untuk amanah yang harus kusampaikan, aku harus mengetahui esensi dan isi Al Quran yang murni yang diajarkan olehnya. Mengapa aku diajarkan olehnya? Karena aku telah dibiarkan Allah tak memahami secuil pun tentang Al Quran. Keadaanku ini memang Ketentuan Allah terhadapku agar kelak, yaitu saat ini, aku menerima pengajaran yang jernih dan murni itu langsung dari Jibril. Mengapa hal ini terjadi kepadaku? Karena katanya, ajaran Islam itu sekarang telah banyak bumbunya. Apa saja bumbunya? Itu pun aku tak tahu. Satu demi satu itu diberitahukannya kepadaku. Demikianlah aku belajar Al Quran darinya.

Bukan hanya Al Quran yang diajarkan kepadaku. Perjalanan hidupku bersama Siti Maryam dan Nabi Isa telah juga mewajibkan diriku mengenali Injil. Jibril secara bertahap mengajakku menengok Injil.

Mengapa Injil? Karena anakku adalah reinkarnasi Nabi Isa dan ternyata karena kepadakulah tugas-tugas itu dibaiatkan, tugas untuk menyatukan umat Islam dan umat Kristen. Anakku menerima tugas Nabi Isa, namun dia menjelma di dunia ini untuk mengurungkan keyakinan umat Kristen yang menuhankan dirinya. Maka, kepadanyalah Allah itu memperlihatkan Kekuasaan-Nya dan sekaligus memperlihatkan ketidak-kuasaan Nabi Isa sebagaimana Kekuasaan Tuhan. Dan kepadakulah penjelasan-penjelasan itu. Demikianlah ajaran Islam dan ajaran Kristen itu ditauhidkan sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW pada awalnya dan juga ajaran Nabi Isa AS pada awalnya. Kedua tugas itu diberikan kepada orang-orang yang awam yang sedikitpun tak mengenal seluk beluk keagamaan, baik Islam maupun Kristen. Siapakah yang menginginkan itu? Bukan keinginan kami berdua, melainkan Keinginan Allah semata.

Mengapa Jibril dituduh tak mempunyai wewenang untuk menafsirkan Al Quran? Siapa yang akan membuka mutasyabihat, kewenangan siapakah? Karena sesungguhnya dia turun saat ini untuk membukakan makna kalimat-kalimat mutasyabihat dan membawa berkahnya turun dan sekaligus menyampaikan arti dan keadaan yang sesungguhnya dari Lailatul Qadar.

Malaikat Jibril itu turun untuk menembuskan mutasyabihat yang disebutkan kepadaku sebagai hikmah mutasyabihat. Ayat-ayat mutasyabihat dibukakan di sini, sehingga bangsa dan negeri ini yang dijadikan fokus pembahasan di dalamnya. Ketinggian harkat Kerasulan itu harus didukung oleh penjelasan-penjelasan dari kitab suci. Maka penjelasan itu berada di dalam ayat-ayat mutasyabihat.

Dari manakah mengawali penjelasannya sebagai penjabaran ayat-ayat mutasyabihat itu? Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat itu berkaitan dengan pengendalian kondisi di dalam keadaannya yang ingin disebutkan. Bagaimana keadaan itu, sehingga dapat disampaikan pengendaliannya, bila tak merupakan suatu jalinan kisah? Tidaklah bisa penjelasan atas surat-surat itu menjadi dipentingkan bila tak berkaitan dengan kisah yang akbar yang tak sering terjadi. Tentulah harus ada pokok masalah yang dikehendaki Allah untuk dibahaskan, dan apa hal yang sangat dipentingkan Allah? Ialah pengingkaran kemusyrikan.

Bagaimana keadaan umat Islam Indonesia? Bagaimana keadaan para ulamanya dan bagaimana keadaan pemerintahnya? Tidakkah terlihat betapa kemusyrikan itu telah dibiarkan? Betapa kemusyrikan itu telah meliputi seluruh negeri. Mengapa tak diperbandingkan dengan keadaan bangsa-bangsa lain? Karena negeri ini telah dinyatakan sebagai negeri yang menganut Islam terbanyak di dunia, maka ayat-ayat mutasyabihat itu diuraikan melalui keadaan dan nasib bangsa ini, bangsa yang terpadat penduduknya dan terbanyak yang menganut Islam, namun Ajaran Allah telah dikhianati.

Dan di dalam surat yang mengandung kalimat mutasyabihat itu tersimpan rukun Iman yang diuraikan melalui kontaminasi keadaan yang sedang terjadi saat Jibril turun. Rahasia yang dijelaskan oleh Malaikat Jibril itu diselaraskan dengan esensi Ajaran Allah dan esensi Al Quran. Sedangkan esensi penulisannya tak melalui bahasa Arab, melainkan melalui bahasa Indonesia yang karakternya disesuaikan dengan karakter bahasa Jibril. Dalam ruh Al Quran, penjelasannya semua menjadi qat’iy karena melalui pembahasan terhadap masalah yang sedang terjadi. Esensi Al Quran dan esensi ajaran Islam termaktub di dalam seluruh penjelasannya terhadap setiap keadaan yang sedang terjadi. Daripadanyalah hukum-hukum syariat dan hakikat itu dijelaskan ketentuannya.

Mengapa tak disimak penjelasan dalil-dalil yang disampaikannya, mengapa tak dikaji? Mampukah aku menuliskan tulisan semacam itu bila sesungguhnya aku ini tak berkemampuan sedikitpun memahami syariat dan hakikat Al Quran? Kalau dicurigai ada yang mengajarkan kepadaku, silahkan mempertanyakan itu kepada sejumlah orang yang berada di lingkunganku yang menyaksikannya, setidaknya kepada seluruh Jamaah Salamullah. Adakah yang menjadi guruku selain Jibril? Masyarakat itu tak mengetahui ujung pangkalnya takdirku dan tak mengetahui apa yang terjadi padaku. Tapi akibat fatwa itu, pelajaran yang baik dari Jibril tak ada yang mau membacanya. Alangkah sayangnya, sedangkan aku tak mungkin berteriak-teriak, bahwa aku tak salah dan sesat. MUI itu adalah dewan yang diagungkan dan didengarkan fatwanya sedangkan aku ini rakyat biasa. Jadi ketentuan fatwa itu menjadi vonis bagiku dan vonis bagi Rahmat Allah.

Malaikat Jibril tak dimungkinkan turun oleh MUI dan tak dimungkinkan mempunyai wewenang untuk menjelaskan kandungan Al Quran. Itulah sesungguhnya dua hal yang penting yang dinyatakan Malaikat Jibril sebagai suatu fatwa yang tergopoh-gopoh sehingga salah dan telah menarik kemudaratan yang sangat panjang dan sangat banyak. Fatwa-fatwa semacam itu bila telah diberlakukan, telah menjadi vonis bagi yang menerimanya, tapi juga bagi MUI itu adalah vonis baginya, terlebih-lebih bila MUI selalu mencampakkan penjelasan-penjelasan Jibril setelahnya.

Betapa banyak penjelasan Malaikat Jibril yang diperintahkannya kepadaku untuk dilayangkan, termasuk di antaranya penanggulangan masalah santet dan ninja serta masalah kemusyrikan yang kami sebarkan di kongres umat Islam dahulu, dan juga buletin-buletin serta surat-surat terbuka kami kepada pemerintah dan masyarakat. Keseluruhan tulisan-tulisan itu sepenuhnya adalah saran-saran dari Malaikat Jibril sebagai Amanah Allah, demi untuk menyampaikan Pertolongan Allah kepada bangsa kita ini. Semua itu kami layangkan ke MUI dan sedikitpun tak dijawab. Demikianlah dinyatakan Jibril, bahwa penjelasan-penjelasannya sama sekali tak dipedulikan oleh MUI. Maka vonis MUI itu pun menempatkan MUI juga sebagai penerima vonis dari Allah. Sungguh kelancungan itu dimintanya kepadaku untuk dijabarkan dalam bab yang lain, yaitu dalam bab penjelasan hikmah mutasyabihat surat Huud dan di Surah Huud dan Surah Al Waaqi’ah, yang menjadi pembahasan dalam buku hikmah mutasyabihat.

Penjelasan untuk klausul 8 telah kami rangkapkan pada penjelasan awal bahwa Malaikat Jibril adalah pembawa Wahyu. Secara runtut telah kami jelaskan di atas.

Bagaimana dengan klausul 9? Hadis itu ditafsirkan, bahwa Malaikat Jibril tidak akan menemui Nabi bila di situ ada istri Nabi, Khadijah yang membuka jilbab sehingga Wahyu tak dapat diturunkan. Mengapa hadits ini disebutkan? Karena esok Jibril ingin mengungkapkan bahwa wanita diwajibkan berpakaian yang menutup auratnya. Dandanan seorang wanita lebih disukai Allah bila sopan dan tertutup. Itulah makna dari pada pelajaran di dalam hadits itu. Pelajaran itu selalu disampaikan di dalam saat keseharian Nabi. Keadaan keseharian setiap nabi itu berbeda-beda. Di dalam keseharian para nabi itulah, Ajaran Allah itu difungsikan dan dicontohkan, hingga menjadi susunan Ajaran Allah. Maka setiap ayat itu ada asbabun nuzul-nya, namun ayat-ayat yang tercantum di situ luas pemahamannya, jauh lebih luas dari penampilannya.

Persangkaan Malaikat Jibril tak mau menemui Nabi Muhammad SAW karena pada saat itu istri Nabi tak memakai jilbab dapat saja dijadikan argumen, bahwa Jibril tak dapat mendekati wanita yang terbuka auratnya atau Jibril tak akan dapat berdekatan dengan wanita. Bagaimana sesungguhnya Sunnah Allah terhadap pendampingan malaikat untuk seluruh umat manusia, termasuk kepada para wanita? Bagaimana peranan Malaikat Raqib dan Atid yang mendampingi seluruh umat manusia, termasuk wanita? Tiadalah Malaikat Jibril itu berbeda dengan peranan para malaikat lainnya. Bagaimanakah dahulu Jibril pun menemui Siti Maryam dan ibunya Nabi Musa? Bagaimana dengan waliyullah Rabiah Al Adawiyah?

Jawaban untuk klausul 10 dinyatakan bahwa Malaikat Jibril hanya turun atas Perintah Allah, tanpa izin dan Perintah Allah ia tak akan turun. Dan dicontohkan betapa Nabi Muhammad pernah mengharapkan kedatangannya, tapi Jibril tak kunjung datang membawa Wahyu. Di dalam hadits Imam Bukhari dan Ahmad yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa suatu hari Rasulullah menginginkan lebih sering dikunjungi dan kemudian mendapatkan jawaban, tidaklah Jibril turun kecuali diperintah Allah.

Betapa aku pun tak berani menyatakan, bahwa sesungguhnya Malaikat Jibril saat ini turun bukan karena kehendakku. Karena pernyataanku ini dapat berkonotasi aku tak menginginkan dia turun kepadaku atau aku tak mau terlibat di dalam takdir ini. Namun sesungguhnya sebenarnyalah aku ini benar-benar tak tahu akan Ketentuan Allah ini. Dan menurutnya, takdir ini adalah Perintah Allah, dia tak mungkin turun sembarangan.

Betapa telah kunyatakan Malaikat Jibril telah menyertaiku selama-lamanya, bahkan menetap bersamaku selama usia yang diperkenankan Allah bagiku. Kerasulan yang dibawanya dan Amanah Allah yang diberikan kepadaku menjadikan aku dan dia selalu bersama, menyongsong segala kejadian selama aku menjelajahi masa, menjelang semua peristiwa yang menghadang kami, ataupun kemenangan-kemenangan yang dijanjikan Allah. Penurunan Wahyu telah menjadi satu dengan perintah Kerasulan kepadanya. Kerasulan itu pada saat ini sungguh, itulah inti segala urusannya. Dia turun ke bumi dan menjadi Rasul atas namanya sendiri. Akulah yang menyampaikan segala ucapannya, akan tetapi takdir ini sepenuhnya dikendalikan olehnya.

Siapakah manusia yang dapat melihat dan dibantu oleh malaikat? Dalam dalil yang dikemukakan pada nomor 11, bahwa orang yang menerima karamah (sahib al karamah) diharuskan memenuhi suatu persyaratan, yaitu amal perbuatannya harus sesuai dengan dan berdasarkan Kitab (Al Quran) dan sunnah; atau menurut Abu Yazid Al Bustami, ia harus memahami dan mengamalkan awamir dan nawahi (perintah dan larangan agama).

Benarlah semua yang dikatakan itu. Bisakah aku menentukan penilaian atas dosa maupun ibadahku dan keadaan keyakinanku sendiri? Bisakah aku melambung sendiri menemui Malaikat Jibril? Bagaimana syariatku, bagaimana amal ibadahku? Aku sendiri tak melihatnya sebagai suatu yang istimewa, bahkan sungguh sangat banyak kekuranganku. Aku pun tak jarang melakukan dosa.

Apakah aku memiliki karamah? Tak tahu, aku tak bisa menjabarkannya. Tapi bila aku ditemui Jibril tentulah itu karena Ketentuan Allah. Ketika aku bisa mengobati orang hingga sembuh, ketika berkah itu dapat kubagi-bagikan kepada teman-temanku, ketika aku menemukan beberapa mata air yang berkhasiat, ketika banyak hal yang kutemui tanpa kuduga-duga, mungkin itu disebut karamah.

Bagaimana ketentuan itu bisa jatuh padaku? Wallahu a’lam bis-shawab, semua itu Ketentuan Allah. Tak jarang aku berpikir sendiri, mengapa aku yang dipilih Allah, mengapa bukan seorang kiai atau cendekiawan muslim yang besar namanya. Paling tidak, mengapa bukan seorang ustadz yang pandai berbahasa Arab dan pandai mengaji dan tahu hukum-hukum syariat dan fiqh dengan baik, mengapa aku yang sangat awam ini yang dipilih? Bolehlah menganggap hal itu Hak Prerogatif Allah.

Aku telah bersumpah menjalankan Amanah-amanah Allah ini. Bagaimana aku menjalankannya, adakah karamah yang kumiliki itu mampu menjabarkan tugas-tugasku, mampu menolongku? Semua itu wallahu a’lam bis-shawab. Kini aku hanya bisa mengutarakan apa-apa yang diamanahkan kepadaku.

Janganlah menilai sempit makna setiap ayat suci, karena setiap ayat suci itu meliputi banyak hal yang dapat melambungkan hukum-hukum Islam sehingga hukum-hukum Islam itu dapat menjangkau dan dapat diterapkan di dalam keuniversalan hukum dunia, di dalam keberagaman hukum umat manusia yang berbangsa-bangsa, bernegara-negara dan mempunyai pilihan kepastian hukumnya sendiri. Namun Hukum Allah di dalam Kitab Suci-Nya dapat disentuh dan menjamah seluruh hukum yang ada yang dihadirkan oleh manusia, karena setiap ragam kata-katanya itu dapat menembus urat-urat keseluruhan hukum yang dihadirkan oleh manusia. Demikian kesempurnaan dan kelangsungan Hukum Allah di dalam kitab suci.

Jadi kata Jibril, janganlah suka membatasi Hukum Allah melalui asumsi-asumsi yang sempit, apalagi dengan kefanatikan yang kaku, namun berjangkauan pendek dan tak berkompromi. Ayat-ayat dan dalil-dalil yang qat’iy tak selamanya dapat dipergunakan untuk memberikan jawaban yang tandas dan tak berkompromi bila itu berkenaan dengan sesuatu yang gaib.

Siapakah manusia yang dapat memberikan ketentuan terhadap kegaiban? Tak akan ada seorang manusia pun yang bisa menyebutkan sebuah ketentuan yang tandas dan tak berkompromi kepada masalah kegaiban. Tak akan ada yang mampu menghentikan kegaiban. Adakah vonis MUI mampu menghentikan komunikasiku dengan Jibril? Adakah fatwa MUI itu mampu menghentikan Takdir Allah ini? Mampukah MUI menghentikan Allah, mampukah Jibril menyibakkan takdirku ini kepada seluruh umat, mampukah Allah menjamin takdirku ini. Bila anda meyakini Allah itu Maha Kuasa, tunggulah Jawaban Allah!

KEPUTUSAN FATWA MUI

Keputusan fatwa MUI yang berdasarkan tiga pertimbangan sebagai berikut:

Memutuskan

  1. MEMFATWAKAN :
  2. Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk Malaikat Jibril, baik mengenai sifat maupun tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari Wahyu (Al Quran dan hadits).
  3. Tidak ada satu pun ayat maupun hadits yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru ataupun ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena Ajaran Allah telah sempurna.
  4. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan Al Quran. Oleh karena itu, pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.

 

TANGGAPAN

 Berapakah sesungguhnya keyakinan atau akidah tentang malaikat, baik mengenai sifat maupun tugasnya dalam penjelasan Al Quran maupun hadits? Adakah semua yang kuutarakan tentang Jibril itu tak sesuai dengan penjelasan Al Quran dan Hadis, baik tentang tugasnya, sifat maupun kemampuannya? Sesungguhnya, dipelajari dahululah penjabaranku ini sebelum memutuskan bahwa seluruh penjelasanku itu bertentangan dengan Al Quran. Kemudian Malaikat Jibril tak menurunkan ajaran baru, namun menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan zaman dan perilaku umat manusia pada masa kini melalui ayat-ayat mutasyabihat. Itulah sebagian kesempurnaan Ajaran Allah dan kesempurnaan Al Quran yang tersimpan di dalam mutasyabihat.

Mampukah Al Quran dalam kekhususan ayat-ayat mutasyabihat tersebut menyajikan kesempurnaannya? Al Quran itu telah dinyatakan sempurna, dan kesempurnaan itu akan disajikan oleh Rahasia Allah dalam kemutasyabihatan Ayat-ayat Allah. Bagaimanakah kesempurnaan itu? Mampukah menjernihkan iman umat manusia sehingga mau mengukuhkannya setelah menerima pencerahan, oleh mutasyabihat yang sedang dibukakan Allah itu.

Sungguh penjernihan iman itu memerlukan wawasan yang lebih jauh, tentang Kehendak Allah dan Rahasia Allah. Ayat-ayat mutasyabihat itu berisi pertanggungan Rahasia Allah tentang kesempurnaan Al Quran dan ajaran Islam, yang di dalamnya juga terkandung Injil, Taurat dan Zabur. Demikian surah-surah mutasyabihat menjadi agunan Amanah Allah yang dibawa oleh Malaikat Jibril. Sungguh mukjizat, kekayaan dan Kekuasaan Allah akan dinyatakan melalui makna mutasyabihat yang terkembang melalui takdir yang dibawa Malaikat Jibril saat ini.

Kesempurnaan Al Quran dibahaskan melalui kesempurnaan bahasan di dalam ayat mutasyabihat, melalui kesempurnaan penilaian dan peninjauannya terhadap masalah-masalah pada masa kini. Demikianlah kesempurnaan Ajaran Allah yang selalu terjaga dan dijaga oleh Malaikat Jibril. Dengan ketentuan takdir turunnya ia kembali ke bumi, itu telah menandakan kesempurnaan Penjagaan Allah terhadap Ajaran-Nya dan kesempurnaan ajaran Islam dan Al Quran dan kesempurnaan Kekuasaan Allah.

Semoga keputusan fatwa MUI yang menilai pengakuanku ini bertentangan dengan Al Quran sehingga pengakuanku dipandang sesat dan menyesatkan ini tak dianggap baku dan mau dikaji kembali. Karena Ketentuan Allah ini tetap akan berlaku dan diteruskan sebagaimana yang diinginkan Allah, bukan sebagaimana yang diinginkan oleh MUI. Sekian tanggapan kami atas keputusan fatwa MUI tersebut.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 9 Juli 1999

Yayasan Salamullah