mui1

[PDF Version]

SURAT KEPUTUSAN FATWA
DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
Tentang
MALAIKAT JIBRIL MENDAMPINGI MANUSIA
Nomor: Kep-768/MUI/XII/1997

Bismillahirrahmanirrahim

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA, setelah:

  1. Surat dari Ir. Andan Nadriasta tanggal 4 Oktober 1997 yang bertanya dan mengharapkan ada penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia tentang ajaran kelompok pengajian yang dipimpin oleh Ibu Lia Aminuddin, Jln. Mahoni 30 Jakarta Pusat 10460 Telp. 4207420-4247218.

Dalam surat itu dinyatakan, antara lain, bahwa, Ibu Lia Aminuddin ditemani (didampingi) oleh Malaikat Jibril. Pengajian atau ajaran yang disampaikan Ibu Lia itu pada hakikatnya adalah ajaran yang dibawa Malikat Jibril melalui Ibu Lia. Hal demikian, menurut pengirim surat, jelas dapat meresahkan umat karena bertentangan dengan akidah Islam.

  1. Penjelasan Ibu Lia Aminuddin kepada Sekretaris Komisi fatwa MUI pada Selasa, 4 Nopember 1997, bahwa benar ia didampingi dan mendapat ajaran dari Malaikat Jibril.
  2. Penjelasan Ibu Lia Aminuddin dalam Sidang Komisi Fatwa tanggal 11 Nopember 1997 yang, antara lain, mengatakan:
  3. Setelah merasa dikecewakan oleh sikap Anton Medan dan dua kiai (Nur Muhammad Iskandar dan Zainuddin MZ) mengenai masalah Yayasan At Ta’ibin, Ibu Lia setiap malam menangis dan mengadu kepada Allah tentang ketidakadilan dan kebenaran yang dirasakannya tidak ada. Ibu Lia -yang mengaku sangat awam dalam bidang agama Islam- pada suatu malam mengalami suatu peristiwa: seluruh badan bergetar, keringat bercucuran, tetapi ia merasa kedinginan. Esok harinya tiba-tiba ia bisa melihat segala sesuatu (misalnya ia dapat mengetahui bahwa sebuah mobil yang dilihatnya adalah hasil korupsi) dan dapat mengobati berbagai penyakit.
  4. Setelah itu, ia didatangi oleh makhluk gaib yang kemudian mendampinginya serta memberikan ajaran dan tuntunan agama Islam. Makhluk itu kemudian diketahui (mengaku) sebagai malaikat bernama Habib Al Huda.
  5. Pada suatu hari, seorang pasien bernama Indra yang menurut Ibu Lia, kasyaf jin memberitahukan bahwa pendamping Ibu Lia adalah malaikat Jibril. Kemudian di hari lain, datang lagi seseorang yang memberikan kesaksian serupa. Dan ketika Ibu Lia bertanya kepada pendampingnya tentang kebenaran kesaksian dua orang tersebut, pendamping itu membenarkan dan mengaku bahwa sebenarnya ia adalah Malaikat Jibril.
  6. Ibu Lia kemudian disuruh beribadah umrah oleh “Jibril” untuk mendapat kesaksian (pembuktian) bahwa ia adalah Jibril. Sepanjang perjalanan umrah ia melihat peristiwa-peristiwa yang memberikan keyakinan kepadanya bahwa pendampingnya itu benar-benar Jibril.
  7. Ibu Lia juga menjaelaskan bahwa ia dapat berkomunikasi dengan Jibrilnya jika ia memerlukan dan Jibril tidak bisa datang semaunya. Tegasnya, kedatangan Jibril bergantung pada Ibu Lia, kecuali jika ada amanat yang harus disampaikan kepadanya.
  8. Keputusan Sidang Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia, pada hari Selasa, 11 Nopember 1997 dan 3 Desember 1997, yang membahaskan tentang “kemungkinan manusia pada saat ini (setelah wafat Nabi Muhammad s.a.w.) didampingi serta dapat berkomunikasi dan mendapat ajaran dari Malaikat Jibril”.

MENIMBANG :

  1. Bahwa akidah (‘aqidah) dalam ajaran Islam mempunyai kedudukan sangat penting dan harus didasarkan pada dalil-dalil qat’iy, oleh karena itu, akidah tersebut harus dijaga dan dilindungi kemurniannya.
  2. Bahwa masalah Jibril merupakan masalah penting menyangkut akidah Islam; oleh karena itu, akidah atau keimanan (kepercayaan) kepada Jibril harus berlandaskan dan tunduk pada dalil-dalil qat’iy.
  3. Bahwa menurut akidah Islam, Jibril hanya turun kepada para nabi untuk menyampaikan wahyu Allah, dan mengingat-ingat Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir maka Jibril tidak lagi turun menemui manusia untuk menyampaikan wahyu.
  4. Bahwa pengakuan sesorang, dalam hal ini Lia Aminuddin, didampingi dan mendapat ajaran dari Jibril harus segera ditanggapi dan diluruskan oleh Majelis Ulama Indonesia.

MENGINGAT:

1. Salah satu rukun Iman dalam sistem akidah Islam -yang wajib diyakini dan menjadi akidah setiap muslim- adalah iman kepada malaikat. Cukup banyak ayat al Qur’an menjelaskan hal ini; antara lain firman Allah:

 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan; akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” (QS. al- Baqarah (2): 177).

 “… Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya” (QS. an-Nisa (4): 136).

  1. Menurut ajaran Islam (al-Qur’an), malaikat adalah makhluk gaib dan termasuk kedalam hal (alam) yang gaib. Mengenai hal yang gaib, Allah berfirman:

 “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib; maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu, kecuali kepada rasul yang diridai-Nya; maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka bumi dan dibelakangnya” (QS. al-Jinn (72): 26-27).

  1. Atas dasar itu, dalam melaksanakan keimanan kepada malikat yang gaib itu, setiap muslim yang yakin (beriman) bahwa sumber akidah dalam Islam mengenai persoalan gaib hanyalah al-Qur’an semata, harus tunduk dan mengikuti, serta terbatas pada keterangan yang dijelaskan oleh al- Qur’an, baik menyangkut materi mereka, sifat, tugas, maupun dalam hal melihat mereka. Malikat, dalam akidah muslim, adalah makhluk (alam) gaib yang tidak dapat diketahui oleh manusia, melalui idrak basyari (intelek manusia). Mereka hanya dapat diketahui melalui pemberitaan valid (al-khabar as-sadiq) dari Allah SWT, yaitu keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an. (perhatikan Mahmud Syaltut, al-Islam ‘Aqidah wa Syariah, t.t.: Dar al-Qalam, 1966, h. 32). Dengan kata lain, pengetahuan tentang malaikat haruslah berdasarkan wahyu.
  2. Perintah al-Qur’an agar beriman kepada malaikat tersebut, pada dasarnya, bukan hanya beriman dari sudut bahwa mereka adalah makhluk yang benar-benar ada semata, melainkan juga dari sudut tugas-tugas mereka yang berkaitan erat dengan misi penting ajaran agama, yaitu, antara lain, pembersihan jiwa (at-tahzib an-nafsiy) dan pengarahan terhadap kebiakan. (perhatikan Ibid.,h. 35).
  3. Al Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat malaikat; di antaranya adalah:
  4. bahwa itu suci dari sifat-sifat manusia (al-a’rad al-basyariyah) seperti lapar, sakit, makan, tidur, bercanda, berdebat, dst. Hal in ditunjukkan oleh Allah melalui dalalah iltizam, dalam firman-Nya:

 “Mereka (malaikat) selalu bertasbih (beribadah kepada Allah) pada waktu malam dan siang hari tiada henti-hentinya” (QS. al-Anbiya (21): 20).

  1. bahwa malaikat itu selalu takut (al-khauf) dan taat kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

“Mereka (malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” QS. an-Nahl (16): 50).

  1. bahwa malaikat itu selalu taat kepada Allah, tidak durhaka (melakukan maksiat) kepada-Nya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-Anbiya (21):26-28 di atas dan dalam firman-Nya:

 “….Mereka (malaikat) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (at-Tahrim (66): 6).

Termasuk durhaka kepada Allah adalah berbohong. Dengan demikian, tidak mungkin ada malaikat berbohong, seperti hari ini ia mengaku bernama Jibril dan esok harinya atau kemarin mengaku selain Jibril.

  1. bahwa malaikat itu mempunyai sifat malu. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Nabi:

 “Bagaimana aku tidak malu terhadap seorang laki-laki yang malaikat pun malu terhadapnya”(HR. Muslim).

  1. bahwa malaikat itu merasa sakit (tidak suka, terganggu) dengan hal-hal yang tidak disenangi (makruh) misalnya bau tidak sedap, demikian juga anjing dan patung sebagaimana halnya manusia. Nabi menjelaskan:

 “Barang siapa makan bawang putih, bawang merah, dan bawang bakung, janganlah mendekati masjid kami, karena malaikat merasa sakit (terganggu) dengan hal-hal yang membuat manusia pun merasa sakit”. (HR. Muslim).

Dari salim dari ayahnya, ia berkata: Jibril berjanji kepada Nabi, namun kemudian ia terlambat datang sehingga hal itu menyusahkan hati Nabi. Kemudian Nabi keluar dan dijumpai Jibril. Nabi mengadu kepadanya tentang apa yang ia dapatkan. Jibril menjawab: “kami tidak akan masuk kedalam rumah yang didalamnya terdapat gambar dan anjing”. (Matn al-Bukhari bi-Hasyiyah as-Sindi, (Beirut: Dar al-Fikr,1995) jilid IV, h. 53).

  1. Malaikat Jibril, sebagai salah satu malaikat, yang menurut al-Qur’an mempunyai nama lain seperti ar-ruh, arruh al qudus, dan ar-ruh al-amin, tentu memilki sifat-sifat malaikat pada umumnya. Di samping itu, malaikat Jibril memiliki sifat lain dan tugas tertentu, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam:
  2. firman Allah:

 “Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Yang mempunyai ‘Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya. dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila; dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang”.(QS. At-Takwir (81):19-23).

Ayat di atas tidak hanya menjelaskan sifat malaikat Jibril, tetapi juga menjelaskan tugasnya, yaitu menjadi perantara (delegasi) antara Allah dengan para rasul-Nya; ia menurunkan (membawa) wahyu (al-Qur’an) kepada kepada Nabi Muhammad.

  1. Firman Allah:

 “Dan sesungguhnya al-Qur’an in benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar menajdi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan” (QS. Asy-Syu’ara (26) 192-194).

Ayat asy-Syu’ara di atas menegaskan bahwa (1) Malaikat Jibril mempunyai tugas menyampaikan/menurunkan pesan dan ajaran dari Allah, (2) pesan dan ajaran yang dibawa turun oleh malaikat Jibril adalah kalam (wahyu dari) Allah, dalam hal ini al-Qur’an, (3) wahyu tersebut dibawa turun malaikat Jibril kedalam hati (kalbu) Nabi Muhammad, dan (4) bahwa tujuan penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad ialah agar ia menjadi nabi (munzir). Atas dasar ini, maka (1) tidak dapat dibenarkan jika Jibril membawa turun selain wahyu, misalnya pendapat atau penjelasan dari Jibril sendiri, baik kepada Nabi Muhammad maupun orang lain, (2) sesudah Nabi Muhammad wafat Jibril tidak akan lagi menurunkan wahyu maupun ajaran kepada siapapun, karena Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan ajaran Allah untuk umat manusia telah dinyatakan sempurna.

Dua hal disebut terakhir ini, yakni bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terkahir dan bahwa ajaran Allah untuk umat manusia telah sempurna dijelaskan dalam firman Allah:

 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Ahzab (33): 40).

 “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridoi Islam jadi agama bagimu…” (QS. Al-Ma’idah (5): 3).

  1. Jibril, sebagaimana dijelaskan di atas, hanyalah bertugas menyampaikan wahyu dari Allah dan ia tidak diberi wewenang oleh Allah untuk menjelaskan kandungan (isi dan maksud)-nya. Dalam hal al-Qur’an, tugas menjelaskannya dibebankan kepada Nabi, sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:

 “… Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. an-Nahl (16): 44).

 “… Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui” (QS. an-Nahl (16): 43).

Jelaslah kiranya bahwa malaikat, termasuk juga Jibril, menurut al-Qur’an tidak mempunyai wewenang untuk menafsirkan atau menjelaskan maksud al-Qur’an; sedangkan pengetahuan tentang tugas-tugas malaikat haruslah berdasarkan wahyu (al-Qur’an dan hadis) sebagaimana telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, pengakuan siapa pun bahwa Jibril telah menafsirkan al-Qur’an tidak dapat dibenarkan.

  1. Ayat lain yang menjelaskan bahwa tugas Jibril adalah menyampaikan wahyu antara lain:

 “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan pernataraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. Asy-Syura (42): 51).

 “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” (QS. Al-Qadr (97): 4).

  1. Sebagaimana malaikat pada umumnya yang tidak akan pernah melakukan maksiat, misalnya melihat aurat, malaikat Jibril tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang di dalamnya ada aurat terbuka. Ini dapat diketahui dari hadis berikut:

 “Terdapat keterangan (hadis) bahwa Kahdijah r.a. pernah mencoba (menguji) turunnya wahyu kepada Rasul dengan melepaskan kerudung dari kepalanya. Jika ia membuka rambutnya, tenanglah keadaan Rasul; dan jika ia menutup rambutnya, keadaan Rasul kembali seperti semula. Hal itu ia lakukan karena ia mengetahui bahwa malaikat Jibril tidak akan masuk kedalam rumah yang di dalamnya ada seorang perempuan yang terbuka kepalanya. Oleh karena itu, ketika mambuka kepalanya ia (Khadijah) bertanya kepada Rasul: “Apakah engkau melihatnya (Jibril) Rasul menjawab: “Tidak1” Khadijah berkata: “Wahai putra paman! Tabah dan bergembiralah! Demi Allah! (Yang datang kepada engkau) itu adalah malaikat, dan bukan syaitan”. (Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, h. 268).

  1. Malaikat Jibril hanya turun dan datang kepada Nabi Muhammad atas izin dan perintah Allah. Tanpa izin dan perintah Allah ia tidak akan turun, betapa pun Nabi Muhammad sangat menginginkan dan mengharapkan. Cukup banyak peristiwa yang memerlukan segera mendapat jawaban dan penjelasan wahyu, tetapi Jibril tidak kunjung datang membawa wahyu. Contoh penantian Nabi yang paling mendesak adalah peristiwa menggemparkan yang menuduh ‘Aisyah r.a. isteri Nabi, berbuat serong (hadis al-ifki).

Di samping itu, Nabi pernah meminta kepada Jibril agar lebih sering datang mengunjungi Nabi, tetapi Jibril menjawab bahwa kunjungannya harus atas izin Allah. hal in dijelaskan dalam hadis berikut:

      “Imam Bukhari dan Ahmad meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah berkata kepada Jibril: “Apa yang menghalangimu untuk berkunjung kepada kami lebih sering dari kunjunganmu selama ini? Nabi berkata. Lalu turunlah ayat: “Dan tidaklah kami (Jibril) turun kecuali dengan perintah  Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita, dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (QS. Maryam (19): 64) (Lihat Matn al-Bukhari bi Hasyiyah as-Sindi, (Bairut: Dar al-Fikr, 1995), jilid II, h. 245).

  1. Menurut al-Qur’an, manusia dapat melihat, ditemui, atau bahkan dibantu oleh malaikat, dan itu termasuk karamah. Misalnya seperti dijelaskan dalam al-Qur’an:

 “(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (QS. al-Anfal (8): 9).

Mengingat hal tersebut sebagai karamah, tentu sahib al-karamah (orang yang mempunyai karamah) diharuskan memenuhi suatu persyaratan, yaitu amal perbuatannya harus sesuai dengan dan berdasarkan Kitab (al-Qur’an) dan sunnah; atau menurut Abu Yazid al-Bustami ia harus memahami dan mengamlkan awamir dan nawahi (perintah dan larangan agama).

Dengan memohon taufiq dan hidayah kepada Allah SWT

Memutuskan

  1. MEMFATWAKAN :
  2. Keyakinan atau akidah tentang malaikat, termasuk Malaikat Jibril, baik mengenai sifat maupun tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (al-Qur’an dan hadis).
  3. Tidak ada satu pun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru ataupun ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna.
  4. Pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.
  5. MENGHIMBAU Kepada:
  6. Ibu Lia Aminuddin (dan jama’ahnya), dan orang lain yang memiliki keyakinan serupa, yakni keyakinan bahwa dirinya mendapat ajaran agama dari malaikat Jibril, agar kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam kembali dan mendalami ajaran Islam, terutama dalam bidang akidah, dengan memahami dan mempelajari al-Qur’an dan hadis kepada ulama, dan menurut kaidah-kaidah yang telah dirumuskan dan diakui kebenarannya oleh para ulama sebagai pedoman dalam mempelajari al-Qur’an dan hadis.
  7. Masyarakat, umat Islam, agar berhati-hati dan tidak mengikuti akidah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis.
  8. Majelis Ulama Indonesia bersedia memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Ibu Lia Aminuddin dan jama’ahnya, serta orang lain yang memiliki keyakinan serupa, tentang akidah Islam.
  9. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan bila di kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan in akan diadakan pembetulan sebagaimana mestinya.

Di tetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 Desember 1997

DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua Umum,                                                                   Sekretaris Umum,
ttd                                                                                 ttd
KH. HASAN BASRI                                                        DRS. HA. NAZRI ADLANI